(Ulasan atas karya Faiqur Rahman)
Oleh: Slamet Makhsun
Tulisan sahabat Faiqur Rahman, yang berjudul “Cinta Idealis dan Cinta Liberalis, Jalan Alternatif Era Milenial” telah selesai saya baca. Dia mengirimkan tepat tadi malam jam sepuluh kurang enam menit. Tapi baru bisa saya baca sore ini, jam setengah empat. Kesan awal saya, tulisannya itu mungkin dari pengalamannya atau pengalaman temannya, yang mulai masuk ke otak sehingga dia merenungkan, dan mungkin mau menerapkan hasil perenungan cintanya pada pacar yang sekarang ia miliki. Semoga aja langeng dan tidak terjadi hal-hal buruk. Amin.
Tipo tulisannya dimulai dari paragraf satu baris ketiga pada kata ‘gelab’. Kemudian paragraf keenam baris kedua pada kata ‘mencul’. Selanjutnya masih paragraf keenam baris ketiga pada kata ‘dianggab’. Terakhir paragraf kedua halaman kedua baris kelima pada kata ‘kebabasan’. Saya yakin, anak Asrama Garawiksa sudah tau kata apa yang benar dalam mengganti tipo kata itu, jadi tidak usah saya tulis pembenarannya disini.
Pada essay ini, saya tidak menemukan penjabaran dari judul yang bagian “Jalan Alernatif Era Milenial”. Yang saya temukan hanya penjabaran dari cinta idealis dan cinta liberalis yang didukung dari data-data yang dimiliki Faiq, seperti cerita sepasang kekasih yang ia dengar dari Kyainya.
Yang saya tangkap, sebenarnya definisi cinta idealis dan cinta liberalis yang Faiq jabarkan, memiliki esensi yang sama. Dalam essaynya, Faiq mengambarkan cinta idealis seperti seorang pemuda yang keukeuh tetap cinta pada kekasihnya, walau sudah meninggal. Dia tidak mau menikah lagi, walau bapaknya sudah menawarkan banyak perempuan. Sedangkan dalam cinta liberalis, Faiq menggambarkan sepasang kekasih yang saling ikhlas menerima keadaan masing-masing. Baik dari segi kekayaan atau kecantikannya, yang penting mau menjalani bersama dengan saling setia.
Dari dua kisah dua pasang kekasih yang saling bercinta tersebut, menurut saya sama esensi cintanya. Bahkan saya kategorikan kedua pasangan tersebut bisa dianggap cinta idealis atau liberalis. Dalam cinta idealis, pasangan kekasih yang pertama menunjukan bahwa mereka tetap setia walupun ditinggal mati, dan tidak mau menikah atau berganti pasangan. Dan ini adalah idealis cinta mereka, tetap setia dalam waktu dan tempat mereka berada. Sedangkan pada pasangan kekasih yang kedua, idealis cintanya terlihat ketika sepasang kekasih tersebut mau menjalani jalinan cinta tanpa pandang rupa atau dompet, yang penting setia dan mau hidup bersama. Ringkasnya, idealis mereka yaitu menerima cinta apa adanya.
Cinta liberalis, pada kekasih yang pertama sangat ketara ketika mereka memilih setia, walau ditinggal mati. Bahkan bapaknya telah menyuruh dan penggantinya, tapi tetap tidak mau, dan mereka bebas menjalani cintanya (tetap bebas untuk memilih setia walau bapaknya telah menyuruh untuk mengganti pasangan). Pada pasangan kekasih yang kedua, mereka bebas memilih jalan cintanya sesuai yang mereka mau, jalan cinta yang mereka pilih adalah kebebasannya dalam mengekspresikan perasaan hatinya, yang penting mereka sama-sama mau menjalinnya dengan ikhlas dan apa adanya tanpa pengaruh atau paksaan dari pihak luar.
Mungkin untuk mengambil jalan tengahnya, kita kembalikan saja definisi cinta dari pasangan kekasih yang benar-benar mengalami cinta secara ikhlas dan intim. Serngkali mereka berkata bahwa cinta tanpa logika, cinta tanpa alasan, cinta juga tiba-tiba datang atau sebaliknya. Jika kita mengkotak-kotakkan cinta dalah ranah idiealisme, maka tidak sejalan. Karena, cinta ranahnya dalam hati, bukan otak. Jika cinta dibawa ke otak, maka seperti manusia yang ingin lihat punggungnya. Tidak akan pernah bisa (maksudnya melihat dengan mata secara langsung, bukan memakai media).
*anggota Garawiksa Institut
0 Komentar