Oleh: Faiqur Rahman

Segala sesuatu yang berakal tentunya pernah merasakan cinta melalui pengalamannya masing-masing. Ada yang melihat dunia ini indah berbintang dan tumbuh bunga-bunga mawar dan gelab gulita berdasarkan cintanya. Cinta adalah konstitusi hati yang cendrung diterjemahkan oleh pikiran dan mengakibatkan dunia ini jadi taman surga atau berduri bahkan buruk sebagaimana gambaran neraka. Sistem birokrasi cinta yang dilakukan oleh masing-masing yang berakal terkadang melahirkan kegiatan yang seakan dunia milik berdua, terkadang juga meninggalkan dunia adalah jalan terbaik.

Hal tersebut bisa terjadi karena besarnya kekuatan cinta, mengapa demikian? Cinta memiliki sifat emosionalitas yang dapat membangkitkan ghirah jiwa seseorang sehingga mampu melakukan apapun yang diinginkannya. Selain itu, faktor politik, ekonomi, budaya dan kondisi sosial juga mempengaruhinya. Di dalam faktor-faktor tersebut terkadang cinta dijadikan sebagai jembatan pertama untuk mencapai keinginannya, hal ini biasanya dilakukan pemuda-pemudi.

Namun, apabila kita kritisi lebih dalam lagi, hakikat cinta adalah kesempurnaan manusia entah itu batin maupun dzahir. Artinya, cinta dapat mengantarkan kita kemana saja yang diinginkan. Jadi, serasa tidak salah apabila pemuda-pemudi menjadikan cinta sebagai kepentingan sosialnya. Oleh karena itu, dari pengalaman tersebut dapat dikategorikan bahwa cinta terbagi menjadi dua, yaitu cinta idealis dan cinta liberalis. Istilah ini sebenarnya hanya mempopulerkan pikiran saya yang sudah sejak lama saya renungkan dan saya mencoba mengaitkan dengan istilah-istilah yang sudah familiar.

Ada sebuah cerita ketika saya masih nyantri dan berguru kepada Kiai Mushleh bahwasanya ada seorang laki-laki yang memiliki perinsip bahwa pasangannya adalah cinta sejatinya, dengan ikhlas ia merawat cintanya sesuai dengan tuntunan agama. Senang dan susah ia lewati berdua, sehingga suatu hari mereka dihadapkan dengan suatu masalah yang sangat rumit bahkan hampir melakukan hal-hal diluar kebaikan. Orang tua mereka masing-masing tidak merestui hubungannya, dan dengan terpaksa mereka harus berpisah.

Seorang laki-laki tersebut tidak pernah berkeinginan lagi untuk mencari gadis lain yang dapat menggantikan posisi mantan pasangannya itu dalam hatinya. Berbagai model gadis yang ditawarkan oleh ayahnya tetap saja ia tolak dan bahkan tidak sama sekali menoleh untuk melihatnya, ia hanya menjawab “cinta saya kepada pilihan saya tidak akan tergantikan oleh gadis manapun, secantik apapun, karena saya sangat mencintainya, dan saya tidak mau menyakitinya”. Dan laki-laki tersebut tidak menikah sampai akhir hayatnya,
Cerita tersebut saya ikrarkan sebagai cinta idealis. Karena sebuah idealisme akan mencul dalam setiap pribadi kaum berakal selama ia masih memiliki keteguhan yang diyakininya jika itu dianggab kebenaran. Dalam cerita itu pula sah-sah saja dilakukan oleh sang lelaki karena tidak terikat oleh unsur apapun termasuk agama dan aturan negara. Ibarat seekor burung elang yang terbang ke angkasa mengepakkan sayapnya tanpa harus ada yang menghalanginya.

Ada juga seseorang yang menerima apa adanya, dengan perinsip selama pasangannya setia dan siap menjalaninya berdua baik senang maupun susah ia tidak mempersoalkannya entah cantik ataupun jelek itu urusan yang menciptakan.  Keyakinan tersebut tidak bisa kita entengkan karena puncak cinta adalah keikhlasan. Dalam hal ini terkategorikan cinta liberalis, cendrung memiliki kebabasan atau terserah siapa saja dan tak perlu memilih selama ia sesuai dengan keinginan seseorang pada umumnya.
Kategori ini, tidak difaktori oleh realitas sosial ekonominya, bukan pula keadaan fisik atau bahkan ia tidak laku disetiap melamar seseorang. Akan tetapi, ia memang memiliki sikap yang memasrahkan hidupnya kepada siapa saja asalkan sesuai dengan kehidupan keluarga seseorang pada umumnya.

Cinta dapat dirasakan oleh masing-masing seseorang, tentunya memiliki pengalaman tersendiri dalam memilih pasangan. Oleh sebab itu, satu hal yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita lakukan terutama di era milenial ini adalah menjadi manusia yang bermanfaat pada orang lain. Banyak jalan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mengelola sistem negara yang terkadang cendrung menjadikan agama sebagai kunci utama. Cinta pun demikian, apapun menjadi sah untuk dilakukan selama masih mampu, karena tujuannya hanya satu, menjadi manusia sempurna.