Oleh: Ahmad Farisi

Mengawali segalanya, saya punya pertanyaan mendasar untuk mengulas puisi Slamet Mahsun ini. Pertanyaannya adalah apakah puisi itu hanya sebatas kata-kata yang dengan sengaja dibuat seapik, serapi, seindah dan sepadat mungkin? Disatu sisi jawabnya iya. Tetapi pada sisi yang lain saya menjawabnya tidak. Sebab selain butuh keapikan, kerapian, keindahan, dan kepadatan pada sebuah puisi, puisi itu juga butuh ruh yang harus dicipta oleh penulisnya. Sebab tanpa sebuah ruh di dalam puisi itu sendiri, maka puisi tersebut tak lebih dari sekadar benda mati yang adanya tak diperhitungkan. 

Dan, ruh yang saya maksud adalah daya tawar baru pada pembaca yang bisa membuat si pembaca berpikir ulang mengenai suatu objek yang sedang menjadi topik atau inti bahasan dari puisi itu sendiri. Misal saya ambil contoh puisi Slamet yang berjdul Sebutir Debu. Debu ini terbang//Membentuk titik//Merayu dengan belaian//Melambai kasih sayang. Jika pada puisi itu kita membaca secara radik, hal baru apa yang penulis tawarkan pada pembaca. Tidak ada, kecuali hal biasa yang sudah kita mafhum ketahui, seperti debu yang terbang karena sifatnya yang tak punya berat masa berkilo-kilo misalnya, sehingga angin mampu menerbangkannya. Tetapi pada puisi ini, saya juga sedikit mengapresisasi penulis, sebab bagaimanapun pada bait-bait terakhiryang dalam pandangan saya penulis telah mampu memainkan logika berbahasa dalam konteks berpuisi. Sebagai pembanding atas puisi Slamet yang kehilangan ruhnya, saya sertakan puisi Pical Gadi yang tayang di kompasiana.com (06- Maret 2019), yang judul puisinya tak jauh beda, yakni tentang debu.

Waktunya tiba//menanggalkan segala//lalu kepala merendah sampai tanah//Sekalipun harta berkelimpahan//tahta dan intan berlian//di hadapan pemilik semesta//kita seharga debu-debu jalanan//Waktunya tiba//merenungi segala dosa diri//yang melabur dinding-dinding hati//dan menyadari partikel-partikel diri//yang akan jadi debu pada suatu hari//Waktunya tiba//menanggalkan segala//lalu kepala merendah sampai tanah//serendah-rendah penghampaan diri//mencium debu yang sama pada telapak kaki//Untuk menyadari//kita dahulu debu//dan akan kembali ke debu

Membaca puisi Pical Gadi ini jelas kita diajak bepikir ulang untuk memahami debu yang dimaksud oleh Pical Gadi, yang dalam hal ini tentu sangat berbeda dengan puisi Slamet yang sebegitu lembeknya. Sehingga tak mampu mencipta ruh puisi itu sendiri, dan itu berbahaya. Dan mirisnya, mengenai hilangnya ruh dalam puisi Slamet, itu terjadi pada keempat puisi yang ditulis Slamet ini. Artinya, keempat puisinya sama-sama kehilangan ruhnya.

Selanjutnya, untuk mengulas puisi Slamet Mahsun ini saya ingin mencoba memotretnya dari kacamata sosiologis. Kacamata sosiologis yang dimaksud adalah cara pandang untuk menilai suatu objek dengan cara memperhatikan dan memahami aspek kehidupan sosialnya. Jadi, sebagai orang yang notabene setiap harinya bersentuhan dan melihat langsung kondisi sosial penulis. Saya berpandangan bahwa puisi-puisi yang lahir sebagai buah tangan Slamet ini adalah puisi yang lahir dari ruang kosong. Artinya dalam menuliskan sajak-sajaknya penulis masih belum berangkat dari dasar yang jelas, baik dari jenis gendre puisinya atau dari sistematiknya seorang Slamet dalam menulis keempat puisinya ini. Untuk membenarkan opini saya ini, maka Anda sebagai orang yang segolongan dengan saya, sebagai penilai, Anda bisa perhatikan bagaimana kehidupan penulis yang bisa dikatakan begitu tidak akur dengan buku-buku, utamanya buku-buku puisi. Selebihnya, mari kita adili bersama diperadilan puisi nanti. Wallahu alam.