Oleh: Michael Musthafa

Di dunia intelektual, tokoh ini disebut-sebut liberal. Ia memang membiarkan pikirannya menelusur secara bebas-liar. Bagi generasi 60-70, pemikir semacam ia tergolong menakutkan karena bayangkan, dalam persoalan Agama Islam yang banyak orang telah menganggapnya paten, ia mempertanyakan kembali mampukah Islam mengikuti perkembangan zaman. Tokoh tersebut bernama Ahmad Wahib.

Wahib lahir di Sampang, Madura, pada 9 November 1942, berasal dari keluarga kiai yang sangat disegani oleh masyarakat dan mempunyai santri, Pak Sulaiman, ayah Wahib, tidak membatasi pergaulan Wahib, terutama di bidang pendidikan. Kebebasan itu memberi pengaruh pada Wahib berupa sikap terbuka. Pada tahun 1961, ia berangkat ke Yogyakarta untuk menempuh perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada, jurusan MIPA. Tempat tinggalnya adalah di Asrama Katolik yang diasuh oleh Romo Stolk dan Willenborg. Lingkungan berbeda keyakinan ini menjadi kesempatan baginya untuk bersikap lebih terbuka lagi.
Di kampusnya, ia menjadi seorang aktivis yang tidak hanya aktif di bidang sosial, melainkan juga pemikiran. Organisasi mahasiswa yang pernah digelutinya adalah Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi tidak lama memutuskan undur diri karena merasa kebebasan berpikirnya mulai terkekang.

Semasa hidup di Yogyakarta, Wahib bertemu dengan banyak tokoh akademisi dan pemikir, seperti Djohan Efendi, Mukti Ali, dan lainnya dalam ruang diskusi bernama Lingkar Diskusi Limited Grup. Diskusi itu dilaksanakan setiap Jum’at sore di Kompleks IAIN Sunan Kalijaga. Dengan kemampuan dan wawasannya, ia diberi amanah untuk menyusun tema diskusi.

Menjelajahi Alam Pikirnya

Satu-satunya sumber yang paling bisa dipercaya tentang alam pikri Wahib adalah buku catatannya. Temannya, Djohan Efendi dan Ismet Natsir mengumpulkan catatan-catatan Wahib dan menyetaknya menjadi buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk yang belum terjawab, bahkan setelah ia meninggal. Sebetulnya banyak tokoh menyayangkan pemuda seperti Wahib harus mati muda sedang perkara belum selesai. Wahib intens menulis persoalan dalam pikirannya, baik tentang Agama, Filsafat, Politik, Budaya dan Asmara.

Ketika ia mempersoalkan Tuhan dan kuasa-Nya, banyak orang memperingatinya agar sedikit mengendalikan pikirannya dan tetap dalam batas-batas Tauhid. Wahib kemudian menuliskan, “…mengapa berpikir hendak dibatasi? Apakah Tuhan itu takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran.”
Percaya atau tidak, masalah ketuhanan memang rumit sekali untuk dibahas. Ada yang menyarakan untuk tidak membahasnya sama sekali karena khawatir salah. Begitulah cara pikir yang tertanam dalam sebagian kita sejak dini, entah disebabkan oleh faktor lingkungan atau kita sendiri yang merasa takut. Tetapi, pada dasarnya, Wahib ingin membuat orang-orang sadar untuk tidak mengekang pikirannya sendiri. Bahkan untuk senantiasa memikirkan tentang Tuhan, kita tidak perlu takut karena menurut Wahib, Tuhan tidak akan marah pada otak makhluk yang selalu memikirkan-Nya. Di dunia ini, ada sekian banyak fenomena yang dapat kita jumpai dan boleh jadi mengubah persepsi kita. Hal ini memberi kesampatan bagi perkembangan sosial dan pengetahuan.

Tuhan dan Islam mungkin punya nilai-nilai yang telah ditetapkan, tetapi sebagaimana kata Wahib, penafsirannya boleh berbeda disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan sekitar. Nilai yang ditafsirkan oleh penduduk Arab pada zaman Muhammad dengan budaya dan kebutuhan sosial yang melatarbelakanginya, tidak bisa disamakan dengan penduduk Indonesia zaman kini dengan budaya dan kebutuhan sosial yang berbeda.

Sikap dan cara pikir seperti sesungguhnya amat dibutuhkan di tengah kondisi masyarakat yang sedang kacau seperti sekarang. Namun, untuk melakukannya mesti dengan penuh keberanian. Orang seperti Wahib tidak bisa tenang selama ia hidup. Sebagian orang disekitarnya telah menganggap ajaran atau budaya leluhur menjadi remote control untuk gerak-gerik kesehariannya dan barangsiapa menciptakan perubahan baru, sudah barang tentu mereka tidak akan tinggal diam Seperti diceritakan di atas bahwa banyak teman wahib merasa risih dengan gagasan-gagasan yang ada dalam pikirian dan menasehati atau tidak lebih diperdalam lagi.

Masalah yang Tak Selesai.

Andaikata Wahib bisa hidup lebih panjang, ia mungkin bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapinya selama ini. Tetapi, sebuah tragedi menimpanya pada 9 November 1973 di Jakarta. Ia tertabrak motor setelah keluar dari kantor Majalah Tempo dan dalam kondisi bersimbah darah, gelandangan-gelandangan yang memperoleh belas kasih Wahib menolongnya dan membawa ke rumah sakit Gatot Soebroto. Namun karena kondisi yang sangat parah, ia tak lagi bisa tertolong.

Kini, apa yang tertinggal dari Wahib adalah kegelisahan-kegelisahan dalam buku hariannya yang menuntut kita untuk menjawabnya. Sepertinya, ia ditakdirkan hidup untuk membawakan kita persoalan-persoalan yang nyaris tak tergambarkan dalam benak. Kemudian kita harus memahaminnya.

Dalam segenap pertanyaan yang mengambang itu, mampukah kita menjangkaunya dan mendaratkannya ke bumi?

x