Hatiku tergerus setiap kali Nyai berkalang nestapa.

Untuk kesekian kali, Nyai menyusuti air mata dan merabai lebam-lebam di badannya. Dekat dapur, dia berusaha mengobati luka. Dia meringis saat memborehkan obat. Pipinya merah lagi. Bibir robek. Sesekali bahunya terguncang selagi isak diluahkan.

Nyai enggan mengaku. Dia berkilah terbentur, disengat atau alerginya kambuh. Aku tahu pasti. Luka-luka itu dia bawa lari dari rumah besar.

Abah kerap main tangan setiap kali merasa kesal. Belakangan, banyak perkara remeh-temeh membangkitkan perangai kasarnya. Nasi lembek, sayur keasinan, sambal kepedasan, ruang tamu yang terlambat dibereskan atau amplop yang berkurang jadi alasan melukiskan memar dan bengkak di tubuh istrinya.

Kenapa Nyai tidak minta cerai saja?
Tatkala usul kusodorkan, mukanya secemberut Abah saat mendapati amplop berisi recehan. Ujarnya, “Ora ilok, Mo. Aku ini istri pertama. Apa kata orang, kalau sampek denger, aku menggugat cerai? Gawe wirang dan ngajari saru santri. Apa jadinya kalau mereka meniru? Padahal, mereka diajari Qurratul Uyun dan Uqudullujain.”

Dari kandang kayu, kupandangi Nyai dengan terenyuh. Kebanggaan sebagai istri Abah sudah sedemikian dalam terpancang, sekokoh akar-akar trembesi di sekitar kami. Sementara, Nyai sudah tak dibanggakan Abah sejak kabar itu mengirap sayap. Sepuluh tahun mengabdi sebagai permaisuri, tak kunjung berbuah momongan. Cap mandul pun disematkan.
Begitulah Abah, suka menuduh sembarangan dan semena-mena.

Pernah terbetik gagasan. Kuajak Abah cek kesuburan. Seketika, beliau muring-muring. Habis aku di-kumbah dengan ludah. Semprotnya, “Matamu picek! Kamu mau ngilani dadaku, Mo? Kiai itu pewaris Nabi. Mana mungkin mandul!”

Abah memang gengsi-gengsian. Mendatangi dokter adalah pertaruhan besar. Mana boleh kiai masturbasi sambil mendeliki film bokep, sedang di balik tirai dokter menunggu? Ya kalau dokternya laki-laki, bagaimana jika perempuan? Aku mafhum. Sejatinya, beliau isin sekaligus khawatir dirinya kopong.

Namun Abah masih bisa terprovokasi. Beliau sempat menuruti omonganku: Menadahi maninya dalam botol kecil bekas air Zamzam. Biarlah aku yang sowan dokter. Dalam tempo tertentu, aku mesti segera menyerahkan cairan menjijikkan yang diwadahi botol khusus itu. Untung, rumah sakit tak sampai sepuluh menit jauhnya. Jelasz aku terpaksa memakai identitas sendiri demi menutupi aib Abah. Jadi, beliau takkan kehilangan muka. Sebelum berangkat, beliau sempat ceramah. “Kalo sampek orang-orang tau aku mandul, kamu bakalan hidup susah. Jadi gedibal pitulikur, dan malang njempalik pitung turunan!”

Sebagai batur, aku sadar. Asalkan boleh terus mengabdi di sini, jadi jongos atau anjing piaraan pun aku rela. Bagiku, hidup sudah tak menarik lagi. Hanya menunggu mati.

Aku yakin. Nyai tidak mandul. Namun, kertas dari dokter membuatku kebingungan!

Kemudian, Nyai mulai membisiki Abah. Demi menjaga wibawa, suaminya mesti kawin lagi. Sosok itu mengagetkanku. Bagaimana bisa anak dukun kampung sebelah malah ditawarkan?

“Aku kenal gadis itu, Mo!” ujar Nyai menanggapi keherananku, “selama terapi, sudah kupastikan dia anak manis lagi penurut. Abah pasti suka! Yang penting, dia subur! Aku emoh minum ramuan dukun itu lagi. Sepertinya, percuma! Kalau dia tulus, pastilah anaknya diserahkan.”

Butuh waktu berbulan-bulan agar aku paham. Nyai berkorban sedemikian besar semata demi merawat rasa bangga di liang dada suaminya. Dulu, ketika Simbah Kiai masih sugeng, pesantren nyaris roboh. Simbah hanya punya seorang anak perempuan. Mau tak mau, beliau ndeder sejumlah santri dengan keras dan disiplin. Satu dari ketiganya terpilih. Usai menikahi Nyai, dia dipasrahi amanat mengurusi pesantren. Abahlah orangnya.

Bersama hujan tangis, Nyai berdoa. Semoga perkawinan Abah dan Nyi Muda—madunya—diberkahi. Belum setahun, Nyi Muda bunting. Lahirlah janin dengan titit sebesar kelingking. Betapa gembira Nyai. Pengorbanannya tiada percuma. Pontang-panting dia urusi segalanya. Dia rawat sang madu bak adik sendiri. Kerap dia timang si bayi dengan penuh kebahagiaan.

Alangkah bangga Abah. Saat sejumlah orang hilir-mudik berkunjung, dengan keperluan minta gembolan agar menang coblosan atau munggah pangkat, beliau pamerkan Ibrahim. Ujarnya semringah, “Lihat, anakku ganteng sekali! Lebih tampan dariku. Harapanku terkabul juga!”
Doa dan jimat Abah memang bertuah. Banyak orang keturutan hajatnya. Bermacam hadiah pernah diterima. Seorang gubernur malah menghadiahkan dua buaya bule, yang dipiara di empang. Warga pun menghormatinya. Itulah kebanggaan Abah.

Usai memborehkan obat, Nyai memanggil. Lamunanku seketika buyar. Dia dawuh agar aku menyembelih tiga domba dan beberapa ayam. Sudah saatnya, utang dilunasi. Dia pernah bernazar. Apabila Abah dikaruniai anak laki-laki, saat umurnya menginjak sepuluh, dia akan menyembelih seekor domba. Ibrahim—bocah kelebihan lemak dan daging itu—harus di-bancaki agar terhindar dari keburukan. Sebagian daging disedekahkan. Sisanya diolah untuk tamu dan disantap sendiri.

***
Ibrahim benar-benar bocah bengal yang kelewat badung!

Bocah gemuk,manja, dan tak punya hati. Berapa kali aku ngonangi ia mengencingi masakan Nyai. Sayur seenak apa pun menjelma aneh. Tak terhitung ia tambahkan bumbu semaunya saat Nyai lengah. Sejak itulah, Abah marah-marah. Sering aku disuruh beli makanan di warung terdekat. Di sana, mesti kukarang sandiwara untuk menutupi kisruh keluarganya.

Dulu, Nyai tinggal di rumah besar. Belakangan, dia terdampar di bilik dekat dapur. Hijrah sepelemparan batu bermula ketika—tanpa sengaja—dia menjatuhkan bayi Ibrahim. Bocah itu menangis melengking-lengking. Celakanya, sang madu menyaksikan ekor kejadian. Tuduhan keji pun melabraki tembok-tembok rumah. Kemesraan bak kakak-adik hangus dilalap permusuhan.

“Lihat, Abah!” seru Nyi Muda bersungut-sungut, “istri tuamu hendak membunuh anak kita! Pasti dia dengki karena mandul dan tak becus punya anak. Pantas aja, dia sok baik padaku. Ternyata, musang berbulu ayam! Pokoknya, aku gak mau tahu. Dia harus minggat dari rumah ini atau ... atau kami yang pergi!”

Pastilah, Abah tak rela ditinggalkan anak-istrinya. Ibrahim sudah telanjur diagul-agulkan di depan banyak orang. Beliau tak sanggup mengusir Nyai. Seluruh aset pesantren memang sudah diserahkan padanya. Namun, rumah besar, pekarangan, dan kebun masih atas nama Nyai. Apa jadinya kalau gonjang-ganjing rumah tangga terendus warga?

***
Selagi menyembelih domba ketiga pagi itu, Nyai tergopoh-gopoh membawa keranjang. Di luar pagar belakang, andong telah menunggu. Dia mesti ke pasar sepagi mungkin. Sederet daftar belanjaan harus dibeli untuk keperluan selametan anak madunya.

Derajat Nyai sudah merosot jadi babu. Serepot inikah dia harus menangani semuanya? Namun, Nyai tetaplah Nyai. Kadang, jalan pikirannya memang sukar dimengerti. Dia selalu menimpali pertanyaanku dengan, “Kelak, kau akan ngerti, Mo!”

“Kenapa Nyai buru-buru begitu?” tanyaku dengan memegang parang mingis-mingis. Darah domba masih menetes.

Nyai berhenti. Jelas, kesedihan merayapi pipinya. Dia hapus jejak-jejak air mata, memaksa tersenyum, dan berkilah, “Ta-tadi aku kelilipan asap, Mo. Lekas selesaikan kerjaanmu! Banyak urusan harus dibereskan. Abah dan ... istrinya, pengin makan sate klatak. Bocah itu ... hhhhh... dia mau rica-rica, gulai, dan ... ah, banyak betul permintaannya. Aku harus lekas berangkat!”

Selama bicara, Nyai terbata-bata. Sesekali, netranya melirik tikungan di balik punggungku. Seolah-olah, sesuatu yang menakutkan sedang mengintai.

***

Selagi berdiri terbengong-bengong, terdengar derap kaki. Dari balik gang, bocah yang tak diajari ibunya tata krama muncul. Napasnya tersengal-sengal. Hampir saja menubrukku. Ia berkacak pinggang. “Di mana Nenek Lampir itu?”
Dahiku berkerut. Aku mendengkus gusar. Kalau tahu anak setan ini seliar begini, kenapa dulu tak kububuhkan racun ke makanan ibunya saat hamil? Semoga, buaya-buaya itu memangsanya segera!

“Hei, kau budek atau bisu?” dampratnya sambil melotot.

Kugerakkan dagu ke pintu. “Den Bagus dari mana mau ke mana?”

“Lihat Abah kasih makan buaya. Hendak ke mana, bukan urusanmu!” Ia lantas menggelinding pergi.

Aku terperangah. Perintah Abah terngiang-ngiang. Ibrahim dilarang dolanan dekat kolam. Sepasang buaya putih terlalu berbahaya untuk diajak bermain. Beberapa kali, ia kepergok menjelajahi daerah gawat itu. Kenapa Abah malah mengajaknya ke sana?

***
Akulah yang mengiris-iris daging domba
dan ayam. Begitu potongan-potongan sebesar jempol dirasa cukup, segera kutusuki dengan jeruji sepeda. Satu batang diisi sepuluh iris daging. Satai siap ditaburi bumbu dan dibakar. Sisanya diolah jadi rica-rica, gulai atau apa saja yang sanggup di-untal bocah rakus itu.

Di dapur, Nyai bekerja trengginas bersama tiga perempuan lain. Mereka ikut datang dari pasar. Kesibukan mereka sudah dimulai sejak kemarin petang.
Serampung kenduri, Abah dan Nyi Muda duduk di ruang tengah. Hidangan sudah tertata rapi. Aku sendiri yang menyuguhkannya.

Nyi Muda sudah menandaskan setusuk satai. Lidah berdecak menikmati citarasanya. Abah sibuk mengunyah gulai sambil sesekali melahap satai. Tiada henti beliau puji kelezatan masakan.

Semestinya, beliau bangga pada Nyai yang mati-matian bekerja. Namun, demi mendengar Abah mengagumi masakan, Nyi Muda mencibir. Katanya, “Terang aja enak. Yang olah-olah kan, juru masak kesohor itu. Bukan dia! Apa sih yang bisa dibanggakan dari istri tua, mandul, dan gak ngerti masak itu? Sudahlah! Tambah lagi satenya, Abah. Ehmm, rica-rica ini pas sekali pedas dan gurihnya. Kamu emang jago, Mo!”

“Eh, mana Ibrahim, Mo?” tanya Abah di sela-sela lenguh kepuasan. Selagi melahap apa saja yang terhidang, tak sekejap pun keduanya menawariku ikut makan. Aku harus tahu diri. Batur tetaplah batur. Tak pantas dahar bareng majikan!

“Entah, Bah. Mungkin lagi main sama temen-temennya.”

“Ingat, Bah! Jangan habiskan semua makanan ini. Sisihkan untuk anak kita, agar ia lekas besar, sehat, kuat, ganteng, dan pintar seperti ayahnya.”

Aku terus menggerakkan jakun menyaksikan mereka makan.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar. Beberapa santri berlarian datang. “Abah! Abah! Aduh, celaka, Bah!”

“Ada apa?” tanya Abah tergopoh-gopoh menuju teras. Aku menguntit bersama Nyi Muda. “Kenapa kalian pucat begitu?”

“Anu, Abah! Anu!” seru para santri seraya menuding-nuding empang.

“Anu, anu. Anu kenapa? Anumu sakit? Atau anunya siapa? Bicara yang jelas!”

Nyi Muda ambruk ke lantai mendengar warita mengguncang batin itu.

***

Polisi berdatangan. Warga telah berkerumun. Nyi Muda terus menjambak, mencakar, dan memuntahkan cacian kepada Nyai. Beberapa orang berusaha mengekangnya.

“Dasar setan! Iblis kau! Pasti kau yang telah membunuh anakku!” makinya kalap.
Nyai terus bungkam. Mukanya tampak kuyu dan melindap. Dia sudah ikhlas dijuluki mandul. Kenapa sekarang ditambahi gelar sebagai pembunuh?

“Itu mustahil!” ujarku tak tahan lagi. Nyi Muda berhenti meracau dan menoleh. “Bagaimana mungkin Nyai dituduh sembarangan macam itu? Pagi-pagi sekali beliau sudah ke pasar. Pulang bersama tiga orang. Berjam-jam masak di dapur. Tadi pagi, usai Abah kasih makan buaya bersamanya, mungkin, diam-diam ia balik sana. Ia tergelincir dan ... disambar.”

Jasad Ibrahim amat mengenaskan. Hampir habis dimangsa. Masih bisa dikenali. Salah Abah sendiri! Bisa-bisanya beliau suruh orang melarang anak kesayangan berkeliaran dekat empang, sedang dia sendiri mengajaknya ke sana? Wanita sialan itu, apa sih kerjaannya?

Nama baik Nyai tetap bersih. Dia memang tak bersalah! Serampung penyelidikan, polisi memastikan tragedi akibat kelalaian Abah dan istri keduanya sendiri.
Telepon gubernur membekukan kasus itu.
Seiring Nyi Muda mulai bertingkah aneh—menjurus gila—aku tersenyum puas. Rasakan! Itulah karma karena berbuat aniaya. Doaku terkabul.

***

Di dapur, Nyai kembali membebat luka-lukanya. Dia seka air mata yang terus meleleh. Dulu, dengan penuh rasa bangga, dia pilih Abah muda sebagai pendamping hidup. Sepuluh tahun keduanya bahagia. Selama itu, mereka saling membanggakan satu sama lain. Kenapa kini jadi begini?
Nyi Muda purik. Ia pulang ke rumah orang tuanya sebab stres berat.

Selagi rehat dari kesibukan, sempalan-sempalan kejadian berseliweran di benak. Sebetulnya, saat Nyai ke pasar, Ibrahim tiba. Saking tergesa-gesa mengejar, entah untuk memaki atau menjambaki ibu tirinya, anak lonte itu tak menyadari benda tajam yang teracung di tangan kananku. Pisau pun ambles di dadanya. Tinggal gagang belaka.

Aku masih belum sadar. Sibuk kupandangi andong yang menjauh saat terasa beban menggelayuti pisau. Begitu menoleh, mata kami berserobok. Dorongan apa gerangan, aku sama sekali tak paham. Tanganku justru gemetaran berputar dan memilin lading yang berkubang di sela tulang iga. Raut kesakitan melukisi wajah bocah itu.
Sungguh menyenangkan!

Sewaktu peganganku terlepas, ia roboh.
Usai menyadari napasnya benar-benar minggat, kuletakkan ia di tepi kolam! Polisi pasti mengira, ia terpeleset dan dimangsa buaya. Alibi sempurna! Tinggal tetap tenang dengan terus bekerja. Tak seorang pun menyaksikan drama di pelataran belakang.

***

Abah dan Nyi Muda terus saja makan. Satai adalah kesukaan keduanya. Sementara, Ibrahim menggemari rica-rica. Tak kugubris kelakuan pria paruh baya dan istri mudanya. Sesekali, mereka saling menyuapi.

Jakunku terus naik-turun.
Pernah kunikmati momen semacam. Nyai dan Abah pernah saling bersuapan di pelaminan, dua puluh tahun silam. Mesti kurelakan Nyai hidup bahagia dengan pria pilihannya. Sementara aku melajang, kawan santri lainnya kawin dengan dukun dan punya anak perempuan.

Aku tahu. Dukun wanita itu membenci Nyai. Entah berapa kali, suaminya menyebut-nyebut nama Nyai, saking memendam cinta yang kelewat besar. Tatkala terapi, sejatinya bukan ramuan penyubur rahimyang diberikan, melainkan obat pemutus keturunan! Nyai sama sekali tidak mandul. Botol-botol yang kuserahkan pada dokter menegaskan kenyataan yang amat berlainan.

Tak berlebihan Ibrahim kujuluki bocah setan, bukan?

Entah siapa gerangan ayah kandungnya!
Diam-diam, kukulum tawa. Meski menahan mual, harus kuabadikan pemandangan langka itu. Abah—bajingan yang merampas Nyaiku tercinta—bersama lonte perusak rumah tangga itu, sibuk mengunyah daging Ibrahim yang kuselipkan di antara satai, gulai, dan rica-rica.

Aku sendiri yang mengiris-iris paha, betis, dan bokongnya sebelum mencampakkan mayat di kolam. Lalu, kucacah, masak, dan suguhkan dengan rasa bangga meluap-luap.

-***-

Dimas Joko, Bumi Mataram, 26/1/2020

Catatan kaki:
1. Ora ilok: tidak patut
2. Gawe wirang: bikin malu
3. Ngajari saru: mengajari yang tidak benar dan tidak baik
4. Qurratul Uyun dan Uqudullujain: dua nama kitab tentang adab perkawinan dan hidup berumah tangga yang termasuk kelompok kitab dasar yang diajarkan di pesantren
5. Muring-muring: marah-marah
6. Di-kumbah dengan ludah: dicuci dengan ludah, maksudnya dimarahi habis-habisan
7. Picek: buta
8. Ngilani dadaku: mempermalukan, menantang
9. Isin: malu
10. Sowan: mengunjungi
11. Gedibal pitulikur: gembel melarat, kasta yang paling rendah
12. Malang njempalik pitung turunan: hidup susah sampai tujuh keturunan
13. Batur: abdi, pembantu
14. Emoh: tidak mau
15. Sugeng: hidup
16. Ndeder: mendidik dengan sungguh-sungguh atau mempersiapkan kader
17. Gembolan: pegangan, ajimat
18. Munggah pangkat: naik jabatan atau kedudukan
19. Di-bancaki: disyukuri dengan menggelar ritual khas orang Jawa berupa kenduri yang dibagikan kepada anak-anak
20. Ngonangi: menangkap basah atau mengetahui tanpa sengaja
21. Selametan: syukuran untuk keselamatanq
22. Mingis-mingis: sangat tajam
23. Dolanan: bermain-main
24. Di-untal: dimakan sampai tandas, bahasa Jawa tataran ngoko yang amat kasar, mencerminkan kejijikan atau kekesalan terhadap seseorang
25. Olah-olah: masak
26. Dahar: makan
27. Purik: cemburu atau sejenis kecemburuan atau perselisihan rumah tangga antara suami-istri
28. Disambar: diterkam buaya, diucapkan Darmo dengan lirih karena menjaga adab sopan-santun di depan keluarga yang sedang berduka