Oleh: Adji Pratama Putra
Aku sekolah di MA Tarbiyatul Banin Winong, Pati, Jawa Tengah. Salah satu madrasah swasta ternama di Kabupaten Pati. Jarak dari rumahku sekitar delapan kilometer. Jika dihitung dengan waktu kira-kira 15 menit. Memang lumayan jauh, tapi jika diniati dengan ikhlas insyaallah akan mendapat barokah.
Suatu ketika aku bangun agak kesiangan gara-gara tidur terlalu larut malam, padahal pada waktu itu adalah hari Senin. Tidak biasanya aku seperti ini.
“Jik, bangun!” Ibu membangunkanku sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Aku hanya bilang, “Iya buk, sebentar.”
Lima menit kemudian Ibuku teriak-teriak lagi, “Bangun apa tidak kamu?”
“Iya” jawabku pada Ibu.
Padahal aku tadi sudah bangun sholat Subuh, tapi tidak tahu kenapa setelah subuh aku tidur lagi dan akhirnya aku bangun kesiangan. Jam 06.30 aku baru bangun dari tempat tidur. Sangat di luar ekspektasi. Padahal, sekolahku gerbangnya di tutup pada pukul 06.45.
“Kak, ayo buruan berangkat!” Adikku juga meggegeri aku.
Memang saya akui kali ini aku tidak mandi...wkwk. Tapi insyaallah tidak ketahuan sama teman-teman. Aku segera ganti baju seragam hari Senin. Setelah ganti baju aku menuju ruang makan untuk sarapan pagi.
“Buk, lauknya pagi ini apa?” tanyaku pada ibu.
Memang sudah menjadi kebiasaanku tanya lauk pada ibu saat mau makan atau sarapan pagi.
“Seperti biasanya” jawab ibuku kesal dengan pertanyaan yang selalu keluar dari lisanku setiap mau makan.
Sarapanku setiap hari dengan lauk seadanya, yang penting enak dan kenyang. Namun sarapanku kali ini tidak habis karena terburu-buru pergi ke sekolah. Setelah sarapan aku segera naik sepeda motor dan boncengan dengan adikku yang duduk di bangku kelas 6 MI.
Motor aku pasang dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di sekolah. Setelah satu kilometer aku berhenti menurunkan adikku di depan sekolahnya. Kemudian aku pasang sepeda motor dengan kecepatan yang lebih tinggi agar secepat mungkin sampai di sekolah. Mengingat sudah waktunya gerbang sekolah ditutup.
Jalanan yang masih jelek berkerikil dan udara pagi yang sangat dingin tidak mematahkan semangatku untuk pergi ke sekolah. Meskipun jarak ke sekolah lumayan jauh dari rumah, semangat untuk menuntut ilmu pada diriku tetap membara.
Jalanan terlihat sepi. Tidak ada satupun anak sekolah lewat. Memang seharusnya seperti ini karena aku berangkat kesiangan.
Tidak lama kemudian aku sampai di depan pintu gerbang sekolah. Subhanallah, ternyata sudah ditutup. Banyak sekali siswa yang terlambat masuk. Alhamdulillah aku tidak sendirian. Kalau sendirian nanti malu kau tanggung sendiri saat dihukum guru piket.
Sebut saja Pak Widi. Dia adalah guru piket  di sekolah setiap hari Senin. Memang sudah sepantasnya gerbang ditutup karena waktu sudah melebihi batas yang ditentukan.
Teman-teman yang lain pada biasa datang terlambat karena mereka sudah sangat sering. Kalau aku sungguh sangat memalukan sekali karena baru pertama kalinya datang telat.
“Mohon perhatiannya sebentar!” Pak Widi berbicara.
“Silahkan tanda tangan di buku daftar keterlambatan” ujar Pak Widi.
“Iya pak” Kami siswa terlambat menjawab bersama-sama.
Kami berbaris untuk mengisi tanda tangan di buku keterlambatan.
Setelah tanda tangan satu persatu dari kami baru diperbolehkan masuk gerbang sekolah oleh Pak Widi. Karena hari itu hari Senin, maka bertepatan dengan upacara bendera. Kami yang terlambat mendapat barisan khusus saat upacara bendera berlangsung. Sungguh memalukan sekali.
Upacara berjalan dengan khidmat. Kali ini pembina upacaranya kepala sekolah sendiri. Panggil saja  Abah Adib. Tidak lama berselang upacara selesai. Kemudian waktu yang ditunggu-tunggu oleh para siswa yang tidak terlambat itu tiba. Yakni penampilan hukuman bagi siswa terlambat di depan seluruh elemen sekolah. Kali ini yang menghukum kami adalah Abah Adib sendiri. Sungguh aku sangat malu berlipat lipat.
Kami dibariskan di tengah-tengah halaman sekolah. Kami akan dihukum jongkok. Walaupun tidak seberapa, namun hukuman ini bagiku adalah hal yang sangat memalukan.
“Satu” Abah mulai menghitung bersama-sama siswa yang tidak terlambat.
Setiap satu hitungan kita lompat satu kali.
“Duua” Abah mengulanginya.
“Tiiga”
“Emmpat”
Subhanallah. Mau ditaruh di mana muka ini. Barisanku paling depan pula. Ditertawakan sama cewek-cewek sudah pasti. Akhirnya hukuman itu selesai setelah hitungan ke lima puluh.
Setelah itu aku masuk ke dalam kelas untuk mengikuti pelajaran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari peristiwa ini.

 Adji Pratama Putra, Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta