Sumber gambar: bisniswisata.com

Oleh: Hendri Krisdiyanto

Pagi yang hilang

Pagi selalu melesat cepat
Di kota yang jauh.

Mata selalu lelap
Ke Alam mimpi masa lalu.

Februari,2018



Hikayat daun

Ia tumbuh di dahan-dahan
Di ujung ranting-ranting

Saat hujan tiba
Ia memungut setiap gerimis
Di tubuhnya yang hijau

Ia tak abadi
Sama seperti waktu

Sejatinya ia tak mengenal tanah
Sebelum ada gugur yang mengantarnya.

Februari,2018

Suatu malam di Kafe

Seorang perempuan dengan senyum paling ringan
Membakar seluruh bebannya pada sebatang rokok yang usang.

Asapnya dihembuskan ke udara
Bagai kabut di tepi-tepi bukit pagi hari
Seperti tak ada apa-apa, dan memang tak ada siapa-siapa.

Hanya sisa beberapa puntung rokok
Di meja yang tak pernah menemukan kesunyiannya

Februari,2018



Suatu malam di Angkringan

“Berapakah harga nasib yang baik, Pak”
Aku membuka suara pertama kali
Di tengah kesunyian yang mencekam.

Tak ada siapa-siapa di tempat ini
Pembeli hanya jejaknya sisa
Jalanan lengang kendaraan
Hanya tinggal bau asap yang sisa

Di langit mendung
Udara beku
Bapak itu menjawab
Dengan sisa tenaga yang terkuras

“Nasib hanya dijual untuk seseorang
yang keberuntungannya tiada”

Lalu, aku termangu
Membayangkan nasib.

Februari,2018

Hendri Krisdiyanto lahir di Sumenep, Madura.alumni Annuqayah daerah Lubangsa. Puisinya pernah dimuat di: minggu pagi, buletin Jejak Jawa Barat. Antologi bersamanya :Suatu Hari, Mereka Membunuh Musim (Persi :2016 ), Kelulus (persi :2017) Dan The First Drop Of Rain 2017. Sekarang aktiv di Garawiksa Institute, Yogyakarta.