Oleh: Faisal Alif
(Radargerakan1.blogspot.com)
Pagi sekali, seperti biasa Purie berangkat mengelilingi dusun menjajakan gorengannya, dia tak pernah mengeluh meskipun hidup tanpa suami dan anak, karena dia memang tak pernah bersuami, lebih tepatnya sebagai perawan tua, bukan karena tidak laku, sebagian orang desa menceritakan, dulunya dia adalah seorang tandek terkenal yang dikrubungi laki-laki tampan dan kaya, tapi iya menolak untuk dilamar, dia lebih memlih hidup sendri di sebuah gubuk yang nyaris roboh, dan tak menutup kemungkinan jika hujan datang rumah itu akan bocor dan semua isi rumah akan tergenang oleh air karna atapnya terbuat dari karocok yang sudah rusak.
Setelah hari mulai siang dan gorengan buatannya belum juga habis pasti dia akan menjajakannnya ke sekolah dasar di samping balai desa, karna di sana banyak anak-anak yang tidak memilih jajanan apapun untuk mereka makan, yang penting kenyang lalu bisa bermain lagi, tapi Purie, dia tidak akan pernah makan jika gorengannya belum terjual habis.
Hari ini semua gorengan Purie habis, dia langsung bergegas pulang ke rumah di pinggiran sungai Tobintang itu dan langsung mencari kayu bakar untuk memasak nasi, agar ia bisa makan setelah berkeliling dari pagi. Setelah hari sudah benar sore, Purie akan mengasah aritnya bersegera berangkat menyabit rumput di sawah, untuk pakan ternak, yang ia ambil dari pak Qasim untuk dibagi hasilnya nanti, kalau sudah beranak pinak.
Masa muda Purie dihabiskan menjadi seorang penari, dia pindah dari panggung ke panggung bahkan tidak punya waktu untuk kedua orang tuanya, setiap hari yang ia lakukan hanya menari dan menari, banyak golongan ningrat yang ingin menjadikannya istri, sampai- sampai mereka rela bertaruh nyawa hanya demi Purie apalgi si Dullah anak seorang ningrat pemlik pabrik garam di Kalianget, dia sangat jatuh cinta pada Purie, Dullah bertarung dengan Budin, saling membunuh satu sama lain, dan pada akhirnya Dullah harus meregang nyawa karna perutnya terkena tusuk oleh keris si Budin, namun Budin juga sama, meskipun dia tidak terlalu parah, namun setelah beberapi minggu kemudian dia juga harus merengang nyawa, akibat luka yang di deritanya semakin parah dan membusuk. Setelah kejadian itu, Semua orang di kampung membicarakan Purie, ayah dan ibu Purie sangat terpukul terhadap berita-berita yang menyerang anaknya itu, sampai suatu ketika Hanafi jatuh sakit, karena penyakit jantung yang dideritanya apalagi diterpa oleh berita-berita miring tentang anaknya, Hanafi adalah bapak Purie, dia tak pernah bersepakat dengan pekerjaan yang digeluti anaknya itu, orang-orang kampung berspekulasi kalau dia meninggal karena Purie, saat bapaknya meninggal Purie sedang mentas bersama dengan kawan Penarinya yang lain, betapa terkejutnya iya saat Hasan mengabarkan kalau bapaknya sudah tiada.
Setalah Purie sampai di rumah dia langsung menangis tersedu, ibu Purie langsung menghampiri Purie dan mengatakan sesuatu “Pergi kau anak durhaka, kau tak pantas di sini, lihat bapakmu mati sebab ulahmu” betapa terkejutnya ia saat mendengar perkataan ibunya itu
Setelah peristiwa itu Purie pergi dari rumah, dari situ ia bertekad untuk berhenti menjadi penari, Kemudian dia mencari guru spiritual, di suatu desa dia bertemu dengan seorang guru yang bernama Syafi’e, dia menempuh hidup baru, hidup yang jauh dari keonakan dunia yang sudah sedemkian gilanya, dari Syafi’e iya belajar agama, sehingga dia mengenal Tuhannya kembali.
Suatu waktu, timbulah lagi pembicaraan orang kampung yang menuduh Purie dan Syafi’e telah berbuat prilaku di luar agama, mereka menuduh Purie dan Syafi’e bermain asmara, sampai-sampai mereka dihakimi di balai desa, lalu keluarlah kesepakatan bahwa Purie harus diusir dari desa itu.
Kembalilah Purie pada ibunya di dusun Tobintang, dengan keadaan yang sudah muai sedikit berbeda tentunya, jika dulunya Purie adalah sosok yang dikenal sebagai pengumbar aurat maka sekarang ia adalah pribadi yang tertutup, setelah sampai di halaman rumahnya dia merasa ketar-ketir takut jika ibunya marah, atau masih dendam kepadanya, namun pikiran-pikiran itu ia usir jauh-jauh, sehingga keberanian dia untuk menemui ibunya kembali lagi, dia ketok pintu sambil mengucap salam, “Assalamualaikum Bu” selang berapa saat ibunyapun keluar, betapa terkejutnya Purie dengan seseorang yang langsung memeluknya dari dalam pintu, setelah berpelukan cukup lama sepasang insan itu menitikan air mata.
Kemana saja kau? Tanya ibu purie
Aku mencari guru sepiritual bu, jawab purie dengan nada pelan dan nyaris tak terdengar.
Nak, maafkan ibu ya, lupakan semua yang sudah terjadi di masalalu tugas kita mengambil hikmah dari apa yang sudah terjadi, sambil matanya berkaca-kaca. Purie hanya diam dan berusaha menenangkan ibunya.
Setelah berapa bulan berlalu mereka diterpa musibah, rumah peninggalan ayahnya hancur karena angin puting beliung dan ibu Purie meninggal terimpa atap. Berawal dari ujian-ujian itu sekarang Purie ingin hidup sendiri menempuh kesulukan dengan bertahan hidup menjual gorengan, tapi dia yakin, dibalik dari ujian-ujian itu betapa besar maha kasih Tuhan kepadanya.
Singosaren 21 Januari 2017
0 Komentar