Sumber gambar: youtube.com

Oleh: Ngarjito Ardi Setyanto*
Membicarakan Indonesia tidak akan pernah habis. Selalu ada sisi yang perlu dibahas, baik itu geografi, flora, fauna, bahkan sisi sejarahnya. Membicarakan Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh bertahun-tahun untuk membicara kerennya Indonesia. Indonesia adalah miniatur dunia.
Indonesia tidak hanya miliki orang Jawa, apa lagi orang Papua. Indonesia bukan milik saya, apalagi Anda. Indonesia tidak hanya miliki suku Batak, apalagi suku Dayak. Indonesia tidak hanya milik Islam, apalagi Kristen. Tetapi Indonesia adalah miliki aku, kamu dan kita semua. Indonesia tanpa aku dan kamu, bukan Indonesia. Aku dan kamu tanpa Indonesia bukan siapa-siapa.
Melihat Indonesia, tidak hanya mengelilingnya, tetapi bisa juga melihat sosial-kultural yang ada di keliling kita. Tengoklah di sekitar kita, nama kawan kita, nama tetangga kita, nama guru kita dan mungkin nama tukang ojek langganan kita. Mereka memiliki nama yang keren, satu sama lain memiliki karakter yang berbeda. Karakter yang menggambarkan Indonesia.
Namaku orang Jawa, namamu orang Batak, apalagi nama Anda orang Dayak, memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Ketika ada orang yang memiliki nama dengan La Ode atau Wa Ode, secara tidak langsung menunjukan karakter orang tersebut dari dataran mana dan suku apa. La Ode atau Wa Ode menunjukan trah suatu raja di dataran Sulawesi, kerajaan Buton. Mana La Ode  menunjukan seorang laki-laki, sedangkan Wa Ode menunjukan perempuan.
La dan Wa dalam nama tersebut tidak hanya menunjukan bangsawan, tetapi tingkatan religiusitas orang tersebut. Sebab, La merupakan singkatan dari bahasa arab yang berasal dari syahadat Islam; La illaha illaula. Begitu juga dengan nama Wa merupakan singkatan dari kalimata kalimat Wa ashadu anna muhammadarrasulullahSedangkan kata Ode memiliki arti bangsawan yang ditemukan dalam literatur bahasa Arab kuno.
Secara tidak langsungkata La Ode dan Wa Ode memiliki makna yang cukup dalam di kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Buton. Nama itu tidak hanya sapaan sesama manusia, tetapi bentuk interaksi kepada sang pencipta manusia; Allah Swt. Jadi La Ode dan Wa Ode secara tersirat adalah orang yang mulia dan terpuji di hadapan Allah Swt.
Bergeser ke pulau lain, Sumatra, kita akan menemukan nama yang cukup familiar dalam kehidupan terminal Jawa. Suara yang lantang dan ceplas-ceplos sesuai keadaan yang ada, membuatnya ditakuti masyarakat, khususnya Jawa. Suara yang cocok dalam hiruk-pikuk terminal. Nama mereka cukup keren-keren dan selalu membuat orang mengingatnya. Pasaribu, Buangmanalu, Lubis Hatonopan, Lubis Singasoro, Lumbanbantu, Marbu, Situmorang, Pandiangan dan masih banyak lain. Semua nama itu menegaskan bahwa mereka orang Batak.
Nama tersebut memiliki filosofi yang cukup tinggi dalam kehidupan orang Batak. Setiap nama merupakan doa dan cita-cita yang disematkan kepada anak dan sanak saudara. Memiliki nama keturunan tersebut, membuat orang-orang Batak terkenal dengan solidaritas dan kekeluargaan, meskipun itu sudah beda generasi.
Bergeser ke tempat orang-orang kalem yang menghanyutkan, Jawa. Suku ini memiliki karakter yang berbeda dari kebudayaan dari pulau-pulau lainnya. Nada bicaranya rendah, tetapi memiliki karakter yang menyimpan segala sesuatu di balik layar. Nama yang digunakan orang-orang Jawa pun berbeda dari suku lainnya. Jika dalam masyarakat Buton dan Batak memiliki karakter marga, maka di Jawa tidak dikenal hal tersebut. 
Untuk mengenal orang Jawa sangatlah mudah. Nama yang berakhiran O untuk laki-laki dan I untuk perempuan, maka 50% adalah orang Jawa. Semisalnya, Santo atau Santi, Suroso atau Surati, Yanto atau Yanti, Yulianto atau Yulianti, Maryono atau Muryani,  dan masih banyak nama yang dibedakan hanya dengan beberapa huruf. Dengan nama-nama tersebut, kita akan memahami bahwa dia memiliki keturunan atau kultur orang Jawa.
Ada sebuah lelucon menyebutkan bahwa De Maria, salah satu pesepakbola ternama yang saat ini menjadi pemain PSG, Prancis, merupakan keturunan Jawa. Ini terlihat dari namanya, bila di Jawa De-Maria dikenal dengan Maria-de. Nama yang sangat populer di kalangan orang Jawa. Tetapi fakta ini jarang dipublikasikan oleh media, lantaran tidak ada bukti secara ilmiah.
Orang Jawa hanya mengetahui beberapa generasi keturunan dari keluarganya, hal ini berbeda dengan suku Batak dan Buton, mereka akan mengetahui bahwa mereka satu darah meskipun sudah terpaut puluhan bahkan ratusan generasi. Orang Jawa hanya mengenal dengan lingkungan sekitar dan keturunan yang terdekat.
Sosial-kultur yang demikian, membuat kebudayaan yang berkembang berbeda dengan lain. Orang Jawa tidak tampak arogan di depan orang yang baru dikenal, tetapi harus hati-hati sebab orang Jawa biasanya menyerang dari belakang. Andai kata ingin membunuh seseorang, dia tidak akan membunuh layaknya orang Batak yang terus terang, tetapi dia akan membelai dan memberikan yang disukai. Ketika musuh sudah lengah, orang Jawa akan menikam dengan tangan tersembunyi.
Maka tidak heran jika sejata andalan orang Jawa, Keris, ditaruh di belakang. Berbeda dengan sejata suku-suku lain. Lebih jauh lagi, topi orang Jawa, Blangkon, memiliki benjolan di belakang. Jika diartikan negatif, merupakan tanda bahwa mereka adalah pedendam. Selain itu, mereka suka hidup bergerombol –mangan ora mangan seng penteng kumpul, membentuk kultur bicara yang rendah, berbeda dengan orang-orang yang suka berburu dan sejenisnya.
Keunikan nama-nama ini jarang diekspos oleh orang-orang yang bergerak dalam dunia multikultural atau ke-bhinneka-an. Kebanyak mereka meninggalkan keunikan nama-nama dalam memahami keberagaman yang ada. Dengan nama itu juga, kita bisa memperlihatkan identitas-identitas setiap daerah, tetapi tidak meninggalkan Indonesia. Namaku, namamu dan nama kita merupakan repersentasi dari sosial-kultur dari Indonesia yang keren.
Aku masih ingat, ketika aku kecil namaku selalu diejek. Namaku tatkala disebuat lebih dari tiga kali sebutan, maka seperti suara kendaraan; Ngar, Ngar, Ngar, dan Ngarrrrrrr. Sedihnya di mana-mana. Bahkan, ketidakmengertian itu, aku pernah ingin mengganti nama menjadi nama impor; seperti Alex, Muhammad atau Maria Ozawa. Tetapi aku urungkan, lantaran masih terkendala administrasi yang beredar.
Seiring berjalannya waktu, dan banyak berkumpul dengan orang-orang luar Jawa, aku tahu bahwa namaku memiliki karismatik yang berbeda dengan nama lainnya. Dengan nama ini, aku bersyukur dan bahagia, aku masih cinta Indonesia, masih cinta produk-produk Indonesia. Maka, banggalah orang-orang yang masih memiliki nama daerah. Karena kita masih memiliki darah juang agar Indonesia tetap menjadi Indonesia. Dengan mempertahankan namamu dan keturunanmu, maka aku, kamu dan kita semua tetap mempertahankan keragaman Indonesia. Salam Ngar Ngar Ngar.
*Kepala Suku Garawiksa Institute