Oleh: Imron Mustofa*
Judul Buku : Alkudus
Penulis : Asef Saeful Anwar
Penerbit : Basabasi
Cetakan : I, April 2017
Begitu menerima Kitab Alkudus, aku langsung dibingungkan dengan angka kecil yang ditulis pada pojok atas di setiap permulaan kalimat. Awalnya aku pikir merujuk ke catatan kaki, yang sejurus kemudian pikirku dipatahkan setelah mata tertumbuk ke ruang kosong bagian bawah lembar-lembarnya.
Berpikir sejenak, lalu dapatlah cukup pencerahan, bahwa angka itu adalah urutan ayat Kitab Alkudus. Aku juga secara tiba-tiba mulai menyadari, bahwa yang aku baca bukanlah buku ‘sembarangan’, melainkan kitab suci sebuah agama bernama Kaib, yang memiliki utusan perempuan bernama Erelah Sang Utusan. Berawal dari sini, aku kemudian memperlakukan buku tersebut layaknya kitab suci beneran, yang tentu dalam membacanya juga semacam menelanjangi terjemahan kitab suciku.
Berpuluh lembar aku bacai, lalu sampai kepada halaman 31 ayat 1. Di situ Tuhan bertanya kepada Erelah Sang Utusan, “Masihkah kamu (Erelah) tiada percaya bahwa manusia pertama adalah seorang lelaki?” Lalu ayat pertama itu dilanjut dengan penjelasan dari pertanyaan itu; bahwa Tuhan tidak melihat jenis kelamin, melainkan sebagai manusia.
Ayat itu pula yang aku jadikan status WhatsApp. Dengan sebelumnya aku tampilkan pula sinopsis kitab Alkudus.
Kutipan ayat halaman 31 direspon oleh seorang kawan di kampung, yang kini tengah kerja di Jakarta. Ia kerja di perkantoran, lalu menanyakan, “Maksudnya apa mas?”
“Ini kutipan dari buku mirip al-Qur’an; Alkudus” kataku.
“Oh, aku nggak paham. Miskin buku mas”
“Beli buku, mas”
“Di sini bukunya mahal-mahal”
“Sini main ke Jogja. Di sini murah-murah”
Dia sepantaran denganku, dan juga teman SD selama 6 tahun. Hidup di daerah pesisir pantai selatan, dengan mata pencaharian orang tuanya petani dan pembuat gula jawa. Karena tak ingin melepaskan kesempatan membantu orang tua, di sisi lain juga ingin mengenyam pendidikan tinggi, ia kuliah di kampus kabupatennya. Jadi bisa ditempuh dengan nglaju.
Sependek yang aku tahu, naik-turun gunung lebih ia sukai ketimbang membaca buku. Entah apa alasannya. Yang jelas, di daerahnya (dan daerahku juga tentunya), buku menjadi barang mahal. Sabit, cangkul, caping, dan celana kolor lebih dikenal daripada himpunan lembaran kertas bertuliskan tinta, yang untuk mendapatkannya pun mahalnya bukan main.
Komentar lain mempertanyakan tentang sinopsis buku, yang di dalamnya dituliskan utusan perempuan, Erelah Sang Utusan. Satu pertanyaan ia lontarkan; itu buku apa kak? Aku jelaskan apa adanya, dan dijawabnya; bacaanmu memang selalu berat-berat ya kak (padahal biasa aja). Aku lanjut penjelasannya, mengenai gebrakan penulis buku yang mendobrak pakem; bahwa nabi itu dinarasikan sebagai ‘jabatan’ yang hanya bisa disematkan pada laki-laki.
“Kok berani ya kak yang nulis!” katanya kemudian.
Dia juga sepantaran denganku, dan kebetulan satu almamater di kampus. Pernah juga seorganisasi. Jadi, sedikit banyak aku kenal karakternya yang memang berpotensi sensitif ketika menemukan hal yang tidak lumrah (antimainstream). Dan Kitab Alkudus masuk ke dalam hal yang anti mainstream.
Satu komentar lagi masuk; tapi karena ia penulis, jadi responnya sekadar emotikon yang sulit dimaknai apa maksudnya.
Sekali waktu ngopi dengan kawan di Cafe Basabasi, ia menyeletuk setelah melihat gambar buku Alkudus di dinding; Aku penasaran dengan Alkudus. Aku jelaskan yang sejurus kemudian direspon; tak kira semacam kitabnya orang Kristen. Barangkali, nama kitab tersebut yang menjadi dasar penilaian kawan ini, yang memang lekat dengan term yang kerap dipake dalam agama Kristen.
Satu hal yang aku tangkap dari berbagai komentar yang berhasil kurekam dalam benak. Bahwa keputusan menulis buku mirip-mirip al-Qur’an, penyajian dan diksi-diksinya, dianggap sebagai keputusan yang berani. Apalagi bagi mereka yang tak terbiasa dengan wacana-wacana nakal, terlebih juga bagi mereka yang gemar mengulik kesalahan orang lain hanya karena beda pandangan agama; buku ini bisa disesatkan dan penulisnya dikafirkan.
Karenanya, buku ini bersifat segmented, yang hanya bisa diterima dan dinikmati kalangan terbatas. Dinilai dan diadili sebagai karya sastra yang mencoba menyajikan hal baru dalam kesusastraan Indonesia. Secara pribadi, aku baru pertama kali membaca buku dengan konsep kitab suci.
Bisa dikatakan, ajaran yang dibawa Erelah dalam Alkudus merupakan ‘ajaran alternatif’ sebagai penyeimbang pemahaman sejumlah umat beragama yang menyimpang. Bahwa telah menjadi rahasia umum, dalam tubuh Islam, banyak yang memiliki orientasi masuk surga, lalu mengorbankan sedikit kesenangannya di dunia untuk mencapainya. Lupa, bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang mestinya dituju, bukan surga-Nya.
Pun dijelaskan, keturunan yang merasa unggul dan menggunakan dalil untuk merebut tanah yang dijanjikan. Keturunan Sakih, yang mendaku diri telah dijanjikan untuk menempati Tanah Para Nabi, yakni tanah Wawut (halaman 134). Membaca bagian ini, aku langsung teringat konflik di Yerusalem, yang dipenuhi kepentingan, baik politik maupun agama.
Terlepas dari kualifikasi mufasir yang rigid, Alkudus bisa dimaknai sebagai ‘tafsir alternatif’ atas ajaran-ajaran kitab suci Samawi –dalam hal ini al-Qur’an. Bahwa Asef Saeful Anwar ingin menyampaikan ajaran-ajaran yang diyakininya sebagai kebenaran, dalam bentuk ‘kitab suci’ baru –dengan perubahan di sana sini (utamanya konsep nabi yang digambarkan seorang perempuan, di samping laki-laki).
Mungkinkah penulis tercetus membuat Alkudus sebagai jawaban atas tantangan al-Qur’an atas orang-orang Arab waktu itu, agar membuat ayat yang sama dengan al-Qur’an; mampukah?
Jika Erelah Sang Utusan adalah ‘Nabi’, dan ‘Tuhan’ yang memiliki Alkudus adalah ‘Tuhan’, lalu siapa Asef Saeful Anwar?
Artikel ini pernah dimuat di binsiman.blogspot.com
*Baru Sarjana dan pegiat diskusi di Garawiksa Institute
0 Komentar