Oleh: Suroso*
(Koran Kedaulatan Rakyat, 08 September 2019)
Kamu harus menjadi manusia berdasi! Agar hidupmu kelak tenteram dan menyenangkan, kata seorang ayah kepada anaknya.
Semenjak pertaniannya gagal, kemudian ditinggal istrinya, sosok lelaki menginjak kepala dua itu memang sering merenung. Setiap harinya hanya dihabiskan dengan hal-hal yang tidak mengenakkan untuk di pandang. Pagi minum kopi, menjelang siang murung di dalam kamar, dan sesekali menangis dengan sendirinya. Ada apa dengan tanah peninggalan ayahku, seperti itulah ia mengeluh sambil meneteskan air matanya.
Memang benar, tanah yang gagal panen itu peninggalan keluarga satu-satunya. Tanah yang dulunya subur dan selalu mencukupi bahan pangan untuk keluarga, sekarang menjadi bahan perbincangan banyak warga. Terlebih, dirinya senantiasa murung akan kegagalannya tersebut.
“Kasihan Pak Sarman, semenjak panennya gagal ia jadi kehilangan senyum ramahnya,” kata Huda yang sudah menenteng cangkul untuk pergi ke sawah.
“Gimana nggak linglung, panennya gagal langsung ditinggal istrinya, belum lagi ia memiliki anak yang masih sekolah,” kata Munaji dengan nada kasihan.
***
Suatu hari, ketika ia sedang disibukkan mencari sampah-sampah yang bisa dimanfaatkan, ia melihat banyak sekali orang-orang berdasi melintas. Kemudian ia duduk dan termenung memandangi orang berdasi tersebut. Mereka berlalu lalang masuk ke dalam gedung satu dan gedung lainnya. Dalam batinnya ia mengatakan, “Apakah seperti ini kesuksesan yang diceritakan oleh ayah, tetapi mengapa mereka tidak ada yang terlihat bahagia. Bahkan wajahnya pun terlihat murung dan membosankan.”
Dalam diamnya, ia terbayang sosok ibunya yang telah tega meninggalkan dirinya. Sosok yang pernah mengajarinya untuk menjadi manusia yang bisa berguna bagi orang lain. Meskipun begitu, kepergian yang dilakukan oleh ibunya memang tidak sepenuhnya salah. Karena ia hanya ingin mencari kebahagiaan bersama dengan orangorang yang lebih baik dari ayahnya, yaitu bersama dengan orang berdasi.
“Perjalanan masih panjang, kamu harus menjadi orang yang berdasi Nak!” kata ayahnya
“Intinya jangan menjadi petani, kamu bisa menjadi apa saja Nak, asalkan jangan menjadi Petani.”
Setelah itu keduanya terdiam, kemudian bapaknya pergi. Setelah kepergian bapaknya, anaknya pun merasa menyesal terhadap tindakan yang dilakukan. “Tidak semestinya seorang anak membantah ucapan orangtuanya,” gumamnya.
***
Dengan berjalannya waktu, setahun sebelum ayahnya meninggal, akhirnya ia menjadi seorang lelaki yang berdasi. Lelaki yang diinginkan bapaknya. Dengan keberhasilan inilah, senyum kebahagiaan terpancar dari raut wajah bapaknya. Senyum yang sempat hilang dengan begitu lamanya, akhirnya terhapuskan dengan keberhasilan anaknya yang berpakaian dasi, dan berada di dalam gedung yang terlihat bagus dan menjulang tinggi, yang kemudian menjadi buah bibir untuk warga-warga di sekitar.
Sesuai dengan tradisi desanya, hajatan dilaksanakan dengan mengundang seluruh penduduk. Keramaian serta kebahagiaan Pak Sarman terpecah dalam perbincangan dengan warga. Sedangkan anaknya tersenyum dalam kesedihan. Sebab, sejatinya bukan ini yang ia inginkan. Ia hanya ingin menjadi petani, agar bisa hidup dan menghidupi orang lain dengan hasil panennya.
Setelah kepergian bapaknya, ia benar-benar kesepian. Gelar sebagai manusia yang berdasi seakan tidak berguna lagi. Kebahagiaannya luntur bersama dengan kepergian bapaknya. Senyum yang sempat terlihat setahun terakhir, menjadi bukti, bahwa perpisahan memang menyakitkan. Tetapi itu selalu terjadi dalam diri setiap manusia.
***
Sejajar dengan garis kehidupan, semua akan berjalan sesuai dengan alur. Setiap kebaikan pasti menemukan kebaikannya, dan usaha tidak akan membiarkan seseorang terpuruk pada keadaan. Kesepian yang pernah dialami oleh seorang anak lelaki yang selalu termenung, sekarang sudah menjadi manusia yang berdasi, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh ayahnya.
Dan benar adanya, bahwa orang yang berdasi memang menemukan kemakmuran, tetapi ia selalu kekurangan asupan kebahagiaan. Kesepian selalu menyelimuti dirinya. Kerinduan terhadap kasih sayang dari bapak dan ibunya senantiasa menghantui lewat mimpinya. Hingga ia tidak tau lagi bagaimana menghilangkan kesepian dan kerinduan kecuali dengan kematian.
Ya, lelaki berdasi yang dicita-citakan oleh seorang bapaknya mati mengenaskan. Ia termakan oleh kesepian dan digerogoti kerinduan dalam hingga akhir hayatnya.
Suroso, lahir di Banyurip desa terpencil di Kabupaten Rembang
0 Komentar