Sumber gambar: diolah dari katarupa.com

Oleh: Endri Maeda
“Kita sebagai mayoritas tidak boleh diam. Kita harus melawan. Kalau perlu kita harus mencari mangsa untuk merobohkan patung besar itu. Organisasi yang tak jelas harus segera disingkirkan dari mata rakyat.
“Kita harus bertindak. Mari kita kumpulkan masa sebanyak-banyaknya. Jika suara kita tidak juga didengar, kita robohkan aja patung itu.”
Ucapan itu aku dengar dari Rudi, bocah yang masih berada di bangku sekolah menengah atas, lebih tepatnya sekarang kelas tiga. Semenjak mempunyai ponsel baru ia sering keluar rumah. Jarang bermain dengan teman sumurnya. Sering kudapati ia pulang bersama gerombolan-gerombolan orang yang sama sekali tak kukenal. Kutanya ibunya, katanya itu teman barunya. Berteman dengan mereka menjadikan Rudi semakin pintar, kritis, dan banyak wawasan.
Pagi sekali, saat matahari masih bermalas-malasan, aku terbangun. Tepat jarum pendek mengarah ke angka tiga dan jarum panjang mengarah ke dua. Belum terdengar suara azan subuh. Kupaksa tubuh ini beranjak dari ranjang. Kuusap-usap mata ini supaya segera tersadarkan. Perlahan aku berjalan menuju kamar mandi. Kulumuri wajah, tangan, dan kakiku dengan air yang amat dingin. Kulafalkan doa setelah membasuh  seperti yang telah diajarkan agamaku.
Kata kiai saat di pondok, sepertiga malam ibaratkan cek kosong, yang harus segera diisi dengan keinginan doa-doa yang kita harapkan. Selesai dua rakaat kukerjakan, aku meraih handphone dari atas meja. Kubuka akun IG. Kugeser ke bawah. Lama kugeser, jari ini dihentikan oleh sebuah akun yang memosting sebuah patung besar. Kubaca tulisan panjang di postingan itu. Kurang lebih bunyi dari tulisan itu adalah ajakan untuk melakukan sebuah aksi. Lebih dari lima ratus komentar yang terdapat. Kutelusuri satu persatu. Tak ada satu pun akun yang kukenali. Kutinggalkan akun tersebut. Jari-jariku kembali menggeser ke bawah. Kali ini aku ingin membuka akun tentang kotaku. Siapa tahu ada berita yang menarik. Setelah kutelusuri tak ada titik-titik yang membuatku ingin menghentikan jari ini. Semuanya terlihat baik-baik saja.
Di hari liburku ini kuhabiskan hari-hariku mengabdi di sekolahanku dulu. Membantu sebisanya yang bisa aku kerjakan. Kadang saat ada kelas kosong aku disuruh mengisinya. Disuruh foto copy pun aku tak pernah menolak. Akan tetapi ada tugas yang paling aku sukai, membuat majalah. Aku selalu disuruh guruku untuk membimbing anak-anak menulis. Mengajarkan tata cara menulis. Menuangkan keluh kesah dalam sebuah tulisan yang enak dibaca.
Di dalam ruangan lima kali enam meter, aku mendengarkan perbincangan yang membuat telingaku tertuntut untuk menyimaknya.
“Katanya akan ada sebuah aksi damai di bundaran. Tapi aksi itu bukan orang kota sendiri yang melakukan,” kata kepala sekolah.
“Lantas, siapa mereka?” tanya salah satu guru matematika.
“Organisasi dari kota lain. Katanya mereka akan turun untuk melakukan aksi berkaitan dengan patung besar itu,” jelas kepala sekolah.
“Kenapa begitu. Bukannya kita sebagai warga adem ayem, tak meributkan masalah itu. Kenapa harus mereka,” tambah guru sejarah.
“Benar. Tapi katanya mereka akan segera dihentikan. Warga tak setuju. Warga menolak keras!”
Kupingku yang dari tadi mendengarkan perbincangan itu tak sadar kalau ada salah satu siswa yang memanggilku. Berselang beberapa menit pembahasan itu terhenti. Aku tak sempat mendapatkan poin akhir pembahasan. Kini konsentrasiku tertuju pada salah satu tulisan siswa yang disetorkan untuk kukoreksi. Tulisannya menarik. Pembahasan yang dibawa mampu membawaku membaca sampai tuntas, meskipun banyak ejaan yang harus dibenarkan, begitu juga kata sambung yang perlu diperhatikan.
Saat senja mulai memanjangkan bayangan-bayangan bangunan dan juga pepohonan di sekitar sekolah, aku segera mengemasi barangku dan beranjak pulang. Sesampai di rumah, kurebahkan tubuh ini di atas kasur. Kuambil handphone dalam tas. Kubuka akun Facebook. Dalam pemberitahuan, aku telah ditandai orang yang tak kukenal dalam sebuah status. Status ajakan lagi. Kugeser ke bawah layar handphoneku dengan ibu jari. Ada salah satu akun yang kukenal, tak lain adalah tetanggaku sendiri, Rudi. Ia berkomentar panjang di bawah. Gaya berbicaranya begitu meyakinkan, mampu menghasut. Mampu menarik orang-orang awam. Hmm... kugeser semakin ke bawah. Semakin ke bawah semakin pedas komentar-komentar itu: Hancurkan! Robohkan! Bakar! Tendang! Singkirkan! Kalau memang tak bisa maka kita yang akan bergerak. Komentar terakhir, tak lain dari Rudi.
Benalu adalah tumbuhan mematikan, tapi tak semua benalu itu mematikan. Benalu memang tumbuhan menyerap getah tumbuhan lain demi hidup, tapi tak semua tumbuhan yang menempel di dahang tumbuhan menghisap getah untuk bertahan hidup. Memang benalu adalah tumbuhan yang hidup di pohon lain, numpang, tapi tak semua tumbuhan yang hidup di tumbuhan lain adalah benalu.
Kini, orang yang sedang bersantai di tempat tidur pun bisa jadi predator yang mematikan. Raganya memang jelas-jelas diam di atas kasur. Tapi lidahnya seperti siluman yang bisa menyelusup ke pikiran banyak orang. Hanya bermodal mengerakkan jari dan berkeliaran di kolom-kolom komentar mampu menghasut puluhan orang, bahkan ribuan. Lengah, maka akan terhasut. Awam, maka akan menjadi boneka kontrol, yang hanya digerakkan dari jauh bisa membakar puluhan boneka lainnya.
Kolom komentar ibaratkan sebuah ladang. Ladang  itu pun tak tergantung dengan benih yang ditanam. Jika biji tumbuhan perusak yang ditanam, maka tumbuhlah tumbuhan perusak, dan akan tumbuh subur, karena memang si petani menyiraminya setiap hari. Kalau ada satu biji tumbuhan kebaikan yang berada diantara biji-biji keburukan itu maka akan termakan ludes, termakan tak ada ampun. Dan kalau saja ladang itu ditanami biji-biji kebaikan, bisa saja hama menyerangnya. Kalau tidak segera diobati dengan obat yang ampuh maka akan merambat kemana-mana. Ludeslah biji kebaikan.
Terlalu lama bermalam, badan ini menjadi drop. Terpaksa hari ini aku harus berkunjung ke klinik. Aku tak seperti penyair-penyair yang katanya bisa menikmati sakit. Menyembuhkan sebuah penyakit dengan berimajinasi. Melawan penyakit dengan aliran darah yang terus dirasakan, ditekan ke titik yang sakit, lalu dibuang. Aku tak bisa seperti itu. Obat andalanku, tanpa kata motivasi dari seorang dokter rasanya aku tidak bisa menyingkirkan penyakit dari tubuh ini.
Aku duduk menunggu antrean. Hidungku memerah. Bibirku pucat. Di saat perubahan cuaca, tubuhku memang sering mengalami seperti ini. Gejala-gejala seperti ini sudah biasa aku rasakan. Di samping aku duduk, terlihat sebuah koran yang masih hangat. Kubaca sambil menunggu panggilan dari dokter. Di halaman pertama tak ada berita yang mampu menghentikan mataku. Di halaman kedua, sama, membicarakan harga garam yang tak kunjung selesai. Di halaman ketiga, berita selesainya pembangunan jembatan yang berbulan-bulan tak rampung. Masih pada halaman ke tiga pojok bawah, seorang anak kelas dua SMP memenangi juara olimpiade matematika se Jawa Timur, syukurlah.
Ada banyak halaman di koran itu. Kalau tak salah sekitar sembilan halaman, tak ada berita yang menarik. Kulewati halaman ke empat, lima, enam. Sesampai di halaman ke tujuh, tangan ini berhenti. Mataku sekilas seperti mata elang, fokus pada satu titik, satu pembahasan, satu berita yang membuatku lega, tapi juga sedih. Berita penangkapan akun-akun penyebar kebencian. Di dalam tabel terdapat lima belas orang yang tertangkap.

Endri Maeda, Pegiat Sastra di Garawiska Institute Yogyakarta.