Oleh: Imron Mustofa
Setiap perut berhak untuk kenyang. Agamawan mengatakan, bekerjalah untuk mengenyangkan perutmu, dengan diniatkan lillahi ta’ala. Buruh merintih, upah kerja minim tapi beban kerja kian menggunung. Mahasiswa berkoar dari menara gadingnya, sejahterakan buruh, tani, kaum miskin kota, dan rakyat kecil-tertindas, sesuai amanah UUD 45. Penulis menggugat, supaya dirinya diperlakukan secara adil, dengan melakukan perubahan model pajak untuk royaltinya.
Semuanya menggungat, berkoar, menuntut, untuk kepentingan perutnya. Maka barangsiapa yang membiarkan perut kosong, apalagi dengan metode yang sistematis, adalah biadab. Adalah menyalahi hak perut untuk kenyang.
Jangan sepelekan perut-perut yang kosong. Karena dengan kekosongan itu, pemilik perut mengisinya dengan semangat untuk melawan. Melawan dengan segenap tenaga dan pikiran, dan berbagai cara. Bukankah yang katanya revolusi itu berawal dari perut yang kosong?
Perut boleh kosong, selama itu murni atas inisiatifnya sendiri. Misalnya sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, sehingga seharian perut dibiarkan kosong. Perut kosong berarti menahan diri untuk membunuh makhluk Tuhan yang lainnya, untuk mengisi kekosongan tersebut. Inilah yang aku maksud menahan diri sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Tapi sekosong-kosongnya perut, pada waktunya –meski berdasar inisiatif sendiri- dikenyangkan juga.
***
Setiap perut berhak untuk kenyang, lalu sang pemilik perut mewajibkan diri untuk bergerak. Sesuai dengan kapasitasnya. Meski dalam setiap inchi gerakannya, selalu dikontrol oleh kekuatan besar tak kasat mata, yang biasanya disebut negara, kadang-kadang mafia, kadang-kadang cukong, kadang-kadang tikus berdasi, dan masih banyak kadang-kadang yang lainnya. Karena untuk membedakan antara beragam kadang-kadang itu amatlah susah hari ini.
Maka jika dalam konteks penindasan, diam adalah pengkhianatan, menurutku memang benar. Diam berarti mati, dan lawannya adalah gerak. Gerak berarti hidup, meski banyak tangan jail yang merusuhinya. Namun demikianlah, di era dimana penindasan telah demikian halusnya, gerak adalah perlawanan yang revolusioner.
Satu gerakan yang aku temui adalah miliknya seorang nenek tua di lobi timur Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Ditemani caping, dengan selendang yang digunakan untuk menggotong wadah makanan pasar, ia kelilingi gedung fakultas. Barangkali setelah lelah dan tidak menemui pembeli, ia beristirahat di tempat yang strategis; samping gerbang masuk fakultas. Tujuannya jelas, untuk menunggu calon pembeli.
Keriput telah menyerang sekujur tubuhnya. Namun tidak dengan jiwanya, yang nonmateri itu. Jiwanya tak pernah keriput, meski perlahan namun pasti, dengan mengendap-endap usia menerornya. Tapi bisa juga, kata kawan psikologi, alasan hidup nenek tersebut hanyalah satu; untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa mengurus dirinya sendiri, minimal untuk mengisi perutnya yang kosong.
***
Setiap perut berhak kenyang. Dan setiap pemilik perut boleh memilih; kenyang dengan cara ia bergerak aktif, atau pasif. Aktif berarti mampu menjunjung kehormatan dirinya dengan cara usaha. Pasif berarti dengan hanya bermodal tangan menengadah, bukan kepada Tuhan, melainkan sesama makhluk Tuhan. Atau kita menyebut mereka dengan sebutan pengemis.
Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru memvonis pengemis dengan kata-kata yang jorok, bedebah nan kejam. Soal rasa yang berkecamuk dan motif yang tumbuh dalam diri seseorang siapa tahu. Karena miskin hari ini bukan hanya persoalan ‘ia tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri’, melainkan ‘ia telah dikondisikan untuk tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri’. Sehingga tidak semua yang mengemis pasti ia hina. Karena jika diamati, pengemis memiliki kasta yang berbeda-beda. Ada kasta elite, yang jika dibandingkan dengan PNS, penghasilan pengemis itu jauh melampauinya. Ini disebut menjadikan mengemis sebagai proses kreatif untuk mengumpulkan kekayaan. Ada pula yang mengemis karena memang telah banyak upaya ia jalankan, namun gagal lagi-gagal lagi. Ini disebut pengemis yang terpaksa mengemis sehingga menjadi pengemis yang miris nan tragis. Hanya untuk mempertahankan kedaulatan perut, ia terpaksa merelakan diri untuk mengemis.
***
Kesimpulannya, kalau perutmu kosong, makanlah, biar kenyang.
Imron Mustofa itu Mahasiswa yang sedang menunggu Wisuda
0 Komentar