Sumber gambar: tokopedia.com


Oleh: Endri Maeda

“Pergilah dan cari tahu kehidupan selanjutnya setelah manusia. Ingat! Jangan kembali kalau belum menemukan jawaban itu.”

Kakekku. Entah apakah aku masih garis keturunannya atau hanya anak yang dibuang lalu ditemukan. Yang jelas, aku tak tahu percis siapa orang tuaku. Dan kakek yang selama ini merawatku, aku juga tak tahu apakah dia adalah kakek dari ibu atau bapak. Hanya saja, selama ini yang sering kudengar dari tetangga kanan kiri aku adalah, ah, aku semakin sedih saja jika harus menyebutkan asal-usulku yang tak jelas ini. Manusia yang tak pernah sedikit pun merasakan asi atau gendongan seorang ibu. Mungkin seperti itu. Manusia yang tak pernah merasakan tamparan ibu saat senja menua dan tak mau pulang karena asyiknya bermain. Manusia, ya, percis yang ada dalam pikiranku. Hmm. Sudahlah.

Lelaki tua yang merawatku sejak kecil, sebut saja kakek. Kakekku. Kurang lebih sekarang menginjak umur 85 tahun. Dan hari ini adalah percis hari ulang tahunnya. Di hari ulang tahun umur 83 kakek mempunyai permintaan yang harus aku kerjakan. Permintaan yang sangat aneh; kuburlah dirimu! Hmm, ada-ada aja orang ini, batinku. Di hari ulang tahun umur ke 84, lagi-lagi mengajukan permintaan yang harus aku kerjakan; tutuplah matamu selama satu minggu! Itu aku lakukan, katanya, ‘Kakek sudah tua, turutilah permintaan kakek.’

Kali ini permintaannya begitu nyeleweng. Aku harus pergi dan tak boleh kembali jika belum menemukan jawaban yang diminta. (carilah kehidupan selanjutnya setelah kehidupan manusia. apakah akan ada dinosaurus lagi ataukah entah itu apa) mungkin bukan dia, tapi, entahlah. Yang jelas permintaan itu keluar dari mulutnya.

Sebenarnya aku tak ingin pergi meninggalkan kakek yang tengah lanjut usia. Tapi apa, semua barangku sudah ia kemas, dan dilempar tepat di hadapanku.

Aku berjalan ke arah matahari tenggelam. Semakin lama semakin sayup-sayup tubuh ini. Ah, kakek. Mungkin karena aku bukan cucu kandungmu, kau tega memperlakukan aku seperti ini. Atau, sudahlah. Mungkin ada sesuatu yang harus aku tahu, dan itu tak mungkin kakek sendiri yang memberiku tahu. Atau jangan-jangan kakek malas memberi tahu.  

Aku terus berjalan ke arah matahari tenggelam dengan seribu kebingungan yang membebani kakiku, tubuhku, pikiranku. Aku semakin bingung apa yang harus aku lakukan. Harus mencari kehidupan setelah manusia. Kepada siapa aku harus bertanya. Kepada Tuhan? Lalu, Tuhan siapa yang harus aku tanya. Tak ada Tuhan yang bisa kutanya. Aku tidak memiliki Tuhan. Sebaliknya, Tuhan tidak memiliki aku. Aku tidak ada yang memiliki. Kakek? Ah, sepertinya kakek itu hanya menganggapku boneka yang siap dimainkan kapan saja. Tak mengenalkanku pada bangku sekolah. Bahkan Tuhan, ya, kakek tak memberi tahu siapa itu Tuhan, dan dimana itu Tuhan.

Seandainya aku punya Tuhan, mungkin saja aku akan bertanya kepadanya. Seperti orang-orang. Menceritakan keluh kesah terhadap perilaku kakek. Bertanya siapa orang tuaku. dan, untuk apa aku hidup. Hari ini hari kedua aku berjalan. Entah sudah berapa kilo kaki ini melangkah. Menempuh aspal yang amat panas dengan menggunakan alas kaki yang hanya satu senti tebalnya. Menerpa dinginnya angin. Syukur dalam dua hari ini tak ada hujan. Aku takut akan hujan. Hujan yang menghentikan langkahku karena kedinginan dan tak melanjutkan pencarian. Tetapi, entahlah. Aku juga bingung rasa syukur ini kutunjukkan kepada siapa.

Malam telah tiba. Gelap menerpaku tak ada ampun. Angin terus-terusan menggelitik pori-pori kecilku. Jauh mata memandang, terdapat cahaya yang ditimbulkan dari sebuah bangunan, terlihat dari bangunan itu seperti tempat manusia menyembah Tuhannya. Aku ingin tahu seperti apa mereka berinteraksi dengan Tuhannya. Aku juga ingin tahu Tuhannya seperti apa. Jika diperbolehkan, aku ingin diperkenalkan dengan  Tuhannya. Siapa tahu bisa menjawab pertanyaan yang berkilo-kilo aku bawa.

Tuhan, inikah Tuhan. Diam tak ada suara. Kutanya, tak ada jawaban. Kusindir, juga tak menjawab. Kupuji, sama, diam. Patung, ya, mungkin karena dia adalah patung, pantas saja tak ada jawaban sedikit pun.

Tuhan saja hanya diam saat kutanya kehidupan selanjutnya setelah manusia. Apa lagi aku. Ah, kakek-kakek, kau memang manusia paling aneh. Kurebahkan tubuh ini di hadapan Tuhan yang dari tadi tak gerak sedikit pun. Mataku tak beralih kemana-mana. Aku tidak mau kecolongan setitik pun gerakan Tuhan yang ada di depanku. Aku akan bermalam di sini, di samping Tuhan yang besar.

Pagi sekali aku bangun. Aku sempat kecewa karena lengah mengawasi Tuhan. Kulihat kanan kiriku. Mungkin saja Tuhan tak ingin berbicara secara langsung. Dan siapa tahu Tuhan memberi tahu lewat tulisan. Kalau benar begitu, aku akan mencari terus keberadaan tulisan itu. Ada banyak tulisan di situ. Buku-buku yang tebal berbaris rapi di rak. Tapi sayang, aku tak pernah sekolah. Tapi jika disuruh membaca aku tak buta huruf, bisa, tapi tak lancar. Satu lembar saja aku sudah tak bisa mengatur lidah. Rumit, dan tak mungkin aku membaca ini semua. Satu buku mungkin satu tahun aku baru selesai membaca.

Aku gagal, entah karena kebodohanku yang sulit untuk membaca atau Tuhan yang ada di hadapanku tak mau memberi tahuku. Kulanjutkan kaki ini melangkah meninggalkan rumah Tuhan. Berjalan di bawah cetarnya terik matahari. Aku tak akan pulang sebelum mendapat jawaban. Atau bisa dikatakan itu adalah kado ulang tahun kakekku. Atau mungkin ini kado terakhir yang ia minta.

Bagaimana aku akan bertanya kepadanya, menyembahnya saja aku tak pernah, dan memuji pun baru pertama kali. Dan, entah, apakah semalam pujianku memang benar, atau malah membuatnya tersinggung. Aku benar-benar menjadi orang yang tak tahu arah tujuan.

Biarkan kaki ini yang menuntunku entah kemana. Entah bertemu dengan Tuhan lainnya yang bisa kutanya. Atau mungkin saja tumbang dengan bersama pertanyaan yang amat konyol ini.

Dulu sebelum ada manusia yang menghuni bumi adalah makhluk-makhluk buas yang besar. Dinosaurus dan binatang-binatang lainnya yang sekarang banyak ditemukan tulang belulangnya. Barulah katanya setelah ada bencana besar semua makhluk itu punah tak tersisa satu pun. Tulang yang banyak ditemukan pun harus melalui tahap yang sulit untuk merangkainya kembali. Dan rangkaian itu belum tentu benar. Apakah seperti itu? Manusia memang bisa-bisanya menyatukan tulang-tulang hingga menjadi sosok binatang yang besar dan menyeramkan. Muncul pertanyaan keduaapakah sebelum dinosaurus ada kehidupan lagi? Entah itu nyamuk yang besar menyerupai dinosaurus, atau bahkan hanya sebuah mata yang amat besar menggelinding dan saling berinteraksi dengan bahasa mata. Lalu bencana apa lagi sehingga membuatnya punah?

Mungkin manusia juga seperti itu. Ada sebuah bencana besar yang membuatnya punah, termasuk aku. Lalu ada kehidupan baru dan kehidupan baru itu menemukan tulang belulang manusia lalu diabadikan lagi. Apakah seterusnya seperti itu? Lalu, kehidupan ke berapakah manusia? Apakah kedua, atau ketiga, atau bahkan keseratus? Sudahlah, aku hanya diberi tugas mencari kehidupan setelah manusia. Bukan mencari urutan ke berapakah manusia dari kehidupan sebelumnya. Kalau saja aku tahu setelah ini akan ada bencana besar lalu ada kehidupan baru, aku akan menguburkan diri ini ke dalam peti besi yang tidak bisa dipecahkan oleh apa pun. Supaya kelak nanti kehidupan baru itu tak kerepotan mencari kehidupan sebelum dia setelah menemukan jasadku dalam peti yang masih utuh tulang-tulangnya.

Lagi-lagi aku menemui gelap yang menerpaku tak ada ampun. Angin pun seperti itu. Selalu menggelitik pori-pori kecilku. Aku mencoba mencari cahaya yang bisa kubuat bermalam. Mudah-mudahan aku tak mendapati rumah Tuhan lagi. Aku takut kalau Tuhan masih marah denganku karena tingkahku kemarin. Oh, ya. Harapanku berubah saat ini. Aku berharap supaya bertemu Tuhan baru, bukan Tuhan yang kemarin. Biarpun tak di rumahnya. Yang penting aku bisa bertemu dan bertanya tentang kehidupan baru itu. Aku janji, kali ini aku akan berhati-hati dalam bertanya. Aku takut kalau tersinggung lagi dan tak mau berbicara sedikit pun seperti Tuhan yang kutemui kemarin.

Tak sengaja, aku berpapasan dengan seseorang. Tubuhnya kurus. Matanya besar beserta hidungnya begitu mancung. Mungkin, kalau diukur kira-kira hidung itu 3 cm, sangat mancung. Dengan menggunakan pakaian hitam putih lalu menghampiriku dan berkata “Bermalamlah dulu di rumah Tuhan. Malam begitu gelap. Jangan sampai ada makhluk buas yang menyerangmu” katanya.

Aku pun ditunjukkan rumah Tuhan itu. Untung berbeda dengan rumah Tuhan yang kemarin. Dari bangunannya saja sudah jauh berbeda. Dan dalamnya juga jauh berbeda. Rumah Tuhan yang aku jumpai kemarin terdapat kayu-kayu merah kecil yang dibakar. Dan Tuhan pun diam dalam bentuk patung. Kali ini berbeda. Ah, aku tak boleh bertingkah seperti itu. Aku takut Tuhan yang ada dalam rumah ini tersinggung dan tak mau kutanya. Tapi kepada siapa aku bertanya. Tuhan saja tidak ada di hadapanku. Rumahnya kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

Jika saja malam ini aku tak mendapati keberadaannya, aku akan meninggalkan pesan berupa tulisan. Mungkin Tuhan akan membacanya nanti.

Pagi tiba, burung-burung kenari saling berbicara dengan bahasanya yang tak bisa kupahami. Berkicau berhadap-hadapan dengan gerombolannya. Seperti membicarakanku, atau bahkan ingin bicara denganku.  Angin berhembus mengelus seluruh tubuhku. Pagi yang sempurna, meskipun tanpa secangkir kopi dan kakek di sampingku. Oh, ya, dari pertanyaanku semalam, mungkin Tuhan telah memberi jawaban. Kalau saja aku mendapati jawaban itu aku akan segera pulang. Kakek pasti akan senang.

Tapi dimanakah jawaban itu? Jika jawaban itu berupa tulisan aku sudah terlalu lelah mengelilingi rumah Tuhan mencari jawabannya. Jika berupa suara, mana, semalam aku tak mendengar apa pun. Kertas itu, kertas pertanyaan yang aku ajukan masih berada di posisinya, tak bergeser sedikit pun. Apakah Tuhan hanya membacanya tampa harus menyentuh. Mungkin saja seperti itu. Lalu, jawabannya? Atau mungkin, saat burung-burung kenari berkicau itu adalah sebuah jawaban. Kalau memang itu sebuah jawaban, haruskah aku menjadi burung, agar aku dapat memahami bahasanya.



Pegiat Sastra di Garawiska Institute Yogyakarta.