Sumber gambar: adharta.com

Oleh Imron Mustofa*

Sebentar lagi, Indonesia akan merayakan pesta akbar demokrasi. Pada tahun 2018, diselenggarakan Pilkada serentak, sementara 2019 ada Pemilu, yang menentukan nasib negara-bangsa lima tahun ke depan. Artinya, akan ada banyak kepentingan politik yang berseliweran, dan media internet menjadi lahan subur untuk menyebarkan kampanye-kampanye politik.

Generasi muda, terlebih pemilih pemula, mesti cerdas dan bijak. Iklim politik memang panas, sehingga harus berhati-hati untuk meresponnya. Tidak menutup kemungkinan ujaran-ujaran kebencian akan menghiasi media sosial dalam waktu dekat ini. Sehingga jika tidak disikapi dengan cerdas dan bijak, dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Sebagaimana telah terjadi, bahwa hanya karena Pilkada atau Pemilu, masyarakat terpecah lantaran berbeda pilihan politik. Yang tadinya bersaudara, tiba-tiba menjadi musuh. Pun sebaliknya, yang tadinya musuh, tiba-tiba menjadi saudara lantaran satu pilihan politik. Ini sangat berbahaya dan mengancam kesatuan bangsa.  

Lantas, generasi muda harus memosisikan diri bagaimana? Maka perlu kiranya kita memperhatikan seruan Ir. Soekarno dalam sebuah artikelnya yang terhimpun dalam buku Islam Sontoloyo. Bahwa di dalamnya disebutkan, sudah saatnya generasi muda bergerak untuk membela tanah air. Seruan Ir. Soekarno sebenarnya juga merupakan bentuk dukungannya kepada Mas Mansyur, Pengurus Besar Persyarikatan Muhammadiyah waktu itu. Melalui artikel berjudul “Memperkatakan Gerakan Pemuda” yang termuat dalam majalah Adil no. 8, Mas Mansyur, sebagaimana dituliskan Ir. Soekarno, menyeru kaum muda kepada cinta tanah air.

Meski artikel tersebut terbit pada masa pra-kemerdekaan, yaitu 1940, namun masih sangat relevan dengan masa kini. Bahwa generasi muda, yang dalam sejarah telah berhasil membuktikan tajinya dalam membuat perubahan sosial, sudah sepantasnya untuk sadar. Sebagai warga negara Indonesia, tentu tugas utamanya adalah membela tanah airnya. Terlebih ketika kita cari dalam literatur agama –misalnya- Islam, jihad merupakan salah satu keharusan umat Islam dalam menjalankan ajaran-ajaran agama.

Jihad tidak bisa hanya dipahami dengan angkat senjata dan berperang. Terlalu sempit pemaknaannya dan sudah tidak relevan untuk konteks kekinian. Terlebih di Indonesia, negeri dengan berbagai perbedaan tapi masyarakatnya bisa hidup berdampingan dengan damai; jihad dalam arti mengangkat senjata sudah tidak relevan lagi, bahkan mengancam perdamaian.

Maka dari itu, lebih revelan jika kita maknai jihad dengan “besungguh-sungguh”. Jihad membela tanah air, artinya bersungguh-sungguh dalam membela tanah air. Bersungguh-sungguh membela tanah air bisa kita awali dengan mengenal terlebih dahulu “apa itu tanah air?” Tentunya, kita perlu membaca sejarah untuk mendefinisikan dan memahami tanah air kita, Indonesia.

Melek Sejarah

Menilik sejarah, kita akan menemukan narasi yang menjelaskan bahwa tanah air Indonesia merupakan hasil dari perjuangan berpeluh dan berdarah para pahlawan. Mereka memulai perjuangan dengan membentuk organisasi, misalnya Budi Utomo (BU) yang lahir pada tahun 1908, sekaligus sebagai penanda kebangkitan gerakan nasional. Selain BU, masih banyak organisasi-organisasi inisiasi generasi muda yang ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan.

Meski masing-masing organisasi memiliki ideologi yang berbeda, namun dalam perkembangannya, mereka disatukan dengan satu cita-cita, yaitu kemerdekaan. Maka dari itu, ada organisasi yang memilih jalur politik untuk meraih kemerdekaan. Ada pula yang memilih jalur sosial-keagamaan sebagai langkah penyadaran pada masyarakat. Semuanya saling membahu –meski ada juga gesekan-gesekan antar organisasi.

Sampai akhirnya Belanda diganti oleh Jepang, yang hanya menjajah kurang lebih 2,5 tahun, tapi efeknya luar biasa. Trauma yang ditinggalkan Fasisme Jepang di bumi Nusantara terutama menjangkiti kaum perempuan yang dijadikan jugun ianfu, budak seks tentara Jepang, yang direbut secara paksa dari keluarga-keluarganya. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau, nasibnya terlunta-lunta dan tidak bisa kembali ke kampung halamannya. Pramoedya dengan apik menggambarkan kondisi bekas jugun ianfu dalam bukunya yang berjudul Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.

Setelah tersiar kabar bahwa Jepang menyerah kepada sekutu, kaum muda mendesak Soekarno dan golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Maka, tepat tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno didampingin Muh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan, dan tersiar luas sampai ke pelosok negeri melalui radio-radio.

Proklamasi kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan para pendiri bangsa. Masih ada pekerjaan rumah yang jauh lebih besar, yaitu merumuskan dasar negara dan segala turunannya.

Perumusan Dasar Negara bukan tanpa masalah, melainkan melalui perdebatan yang sengit. Terlebih ketika utusan dari Indonesia bagian Timur mengancam untuk tidak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika sila pertama dalam Pancasila bernada hanya mementingkan golongan mayoritas. Maka terjadilah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dan jadilah sila pertama dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Refleksi dulu, sebentar....

Dari sini barangkali kita bisa merenungkan; betapa panjangnya perjuangan founding father kita hingga sampai berhasil menjaga keutuhan NKRI. Lantas, apakah kita akan merusaknya hanya karena kepentingan politik praktis?

Generasi muda sebagai tonggak masa depan bangsa, mesti jeli dan hati-hati. Jangan sampai kontestasi politik tahun 2018 dan 2019 menjadi penyebab terkoyaknya keutuhan bangsa. Pilihan politik boleh berbeda, namun kita harus sama-sama sadar, bahwa tugas kita sebagai warga negara adalah membela tanah air, bukan membela politisi.

*Sedikit kenal dengan Ngarjito, penulis keren cum aktivis sosial itu.