Oleh: Ahmad Farisi

(Koran Harian Analisa, 16 Oktober 2019)

Adalah Indonesia yang memiliki 250 macam suku, 6 macam Agama dan 34 Provinsi. Ketiganya adalah anugrah Ilahi untuk bangsa ini. Namun, harus pula diakuai bahwa ketiganya merupakan ujian tersendiri buat bangsa ini. Sebab, di antara perbedaan yang ada, semuanya pada berpotensi mencipta konflik massal atau pun komunal.

Menurut PODES periode 2011-2018, konflik massal yang terjadi di Indonesia pada tingkat desa/kelurahan di setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Dari sekitar 2.500 desa pada tahun 2011 menjadi 2.800 desa/kelurahan 2014 dan kembali meningkat menjadi 3.100 desa/kelurahan pada tahun 2018.

Sebagai Negara kesatuan yang menganut asas “Bhinnika Tunggal Ika” sebagai alat pemersatu. Kenaikan angka konflik seperti yang diperoleh PODES itu adalah kenyataan “Menyedihkan” yang perlu disikapi secara komprehensif dan dewasa. Karena secara tidak langsung, jika volume konflik terus meningkat. Maka nilai-nilai ke-bhinneka-an bangsa kita bisa  tercerai-berai.

Setidaknya konflik terjadi karena beberapa alasan. Pertama, hilangnya sikap hormat-menghormati sesama antarsuku atau kelompok. Kedua, adanya perbedaan kepentingan, haluan dan gagasan yang tak terkendali. Ketiga, salah satu kelompok merasa terganggu, direndahkan dan dirugikan  .

Ketika hal itu terjadi, rasa kebencian pun akan hadir mewarnai kehidupan salah satu pihak, yang lama-kelamaan bibit kebencian itu akan semakin terasa, membabi-buta dan akhirnya berwujud kekerasan fisik. Misal, seperti kasus rasisme terhadap warga Papua beberapa waktu lalu.

Pluralisme Gus Dur

Dialah Gus-Dur, sosok yang dijuluki bapak pluralisme dari Indonesia. Ada beberapa alasan dasar mengapa Gus Dur dijuluki bapak pluralisme. Salah satunya karena Gus Dur tak pernah memandang dan membeda-bedakan siapa dan dari kelompok mana yang hendak ia jadikan teman dan ia tolong. Selama ada datang  yang butuh bantuan dan pertolongannya, dengan senang hati Gus Dur akan membantu dan menolongnya.

“Memanusiakan Manusia.” Adalah jargon yang digunakan Gus Dur dalam setiap perjuangannya. Baik semasa menjabat sebagai ketua umum PBNU atau saat menjabat sebagai Presiden. Seperti apa pun ras, suku agama, dan kebudayaannya. Selama ia adalah manusia, maka harus tetap dihormati dan dimuliakan. Sebab, kata Gus-Dur, manusia adalah ciptaan Tuhan yang  yang paling sempurna dan mulia. Karenanya, memuliakan manusia, berarti juga memuliakan Tuhan. Sebaliknya menghina, merendahkan dan menistakan manusia, berarti juga menghina, merendahkan dan menistakan Tuhan sebagai penciptanya.

Bahkan, menurut Gus Dur, ketauhidan seseorang belum bisa dianggap sempurna bila tidak bisa menyangi manusia dan kemanusiaan di tengah keberagaman.
Gus-Dur datang untuk menolong yang lemah dan tertindas. Tak peduli apa agama dan sukunya. Mau ia Dayak, Papua, Kristen, Hindu atau apa pun yang lainnya, selama tertindas harus tetap ditolong, dikasihi dan disayangi semuanya. Semata-mata atas nama kemanusiaan.

Semasa hidupnya, dengan mudah kita akan temukan Gus Dur berkunjung ke Vihara dan Gereja. Berdialog dengan umat-umat antaragama. Bahkan, sejarah juga mencatat bahwa, Gus Dur merupakan aktor utama diizinkannya kembali perayaan Hari Imlek di Indonesia lewat pencabutan inpres Nomor 14 tahun 1967.  Yang kemudian menjadi cikal-bakal dianugrahkannya gelar Bapak Tinghoa bagi Gus Dur dari Komunitas Tionghoa Semarang.

Karena itulah, menurut saya, seandainya kita sebagai umat manusia yang hidup di tengah keberagaman  Indonesia bisa meneladani sikap pluralisme Gus Dur, niscaya akan damai bangsa ini.